Siapa yang tidak kenal dengan penjual nasi rames dekat pondok yang menyediakan menu andalan tempe cripsy murah meriahnya? Ya, wanita lanjut usia itu biasa dikenal oleh para santri putri dengan sebutan “Bu Ming”. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan nama itu, yang jelas nama beliau bukan “Ming”. Mungkin nama “ Bu Ming” diambil dari tempat beliau berjualan, yaitu di Desa Minggiran. Jadilah para santri memanggilnya dengan nama “Bu Ming”.
Nama asli beliau adalah Ibu Tugirah (71 tahun) yang setiap berjualan selalu ditemani oleh suami beliau yaitu Bapak Sujiyanto (77 tahun)–usia pada tahun 2019. Pernikahan keduanya dikaruniai 3 orang anak yang saat ini semuanya telah berkeluarga. Semasa muda, Ibu Tugirah pernah bekerja sebagai karyawan percetakan di Yogyakarta. Dan semenjak mempunyai anak pertama, beliau mulai berjualan pakaian, sempat berjualan makanan dengan membuka warung soto dan lotek, kemudian berjualan nasi rames hingga sekarang.
Ibu Tugirah dan Bapak Sujiyanto bangun setiap pagi pukul 04.00 WIB untuk mulai memasak dan menyiapkan bahan-bahan yang akan dijualnya. Warung itu buka sejak pagi sekitar pukul 06.30 WIB dan tutup pada pukul 17.30 WIB. Sayuran yang masih segar dan bahan-bahan lain seperti arang, disediakan dan dibelikan oleh anak beliau, karena tenaga beliau yang sudah tidak lagi kuat untuk berbelanja ke pasar. Sehingga beliau hanya memasak dari bahan-bahan yang sudah dibelikan oleh anaknya.
Melihat usia beliau yang sudah tidak lagi muda, sebagai seorang pemuda negeri yang katanya akan menjadi generasi penerus di hari esok, tentu saya terinspirasi untuk mengetahui motivasi apa yang membuat sepasang suami istri ini masih berjualan setiap hari di usia yang sudah tak muda lagi? Bukankah di usai mereka seperti saat ini seharusnya adalah masa-masa di mana mereka beristirahat sembari bermain dengan anak cucu di rumah.? Mungkin sebagian para lansia begitu, tapi tidak bagi Ibu Tugirah dan Bapak Sujiyanto. “Berapa keuntungan yang diperoleh dari hasil berjualan, kok bapak dan ibu masih semangat untuk berjualan setiap hari?” Begitulah tanya saya kepada beliau. Tidak banyak keuntungan yang diperoleh dari hasil berjualan nasi rames ini, meskipun juga ditambah dengan jajanan titipan dari orang lain. Karena Ibu Tugirah selalu mengurangi harga bagi setiap santri yang membeli nasi ramesnya, jika pembeli adalah orang di luar santri, maka beliau memberikan harga normal, namun jika santri yang membelinya, maka beliau selalu mengurangi harganya. “Kasihan, sampean kan uangnya masih minta orang tua” begitulah ibanya. “Jika ditotal bersih, pendapatan dikurangi bahan untuk produksi hari berikutnya, biasanya sekitar lima belas samapai dua puluh ribu rupiah.” Begitu tuturnya.
Ah luar biasa sekali memang, berjualan di usia yang tidak lagi muda dan tidak memprioritaskan keuntungan dari hasil yang dilakukannya. Semua itu mereka lakukan untuk mengisi kekosongan waktu di hari tua. Selagi masih diberi kesehatan dan masih bisa melakukan hal-hal yang baik, mereka tidak mau berdiam diri dirumah, meskipun anak-anak mereka sudah melarangnya.
Pesan dari beliau kepada para santri putri, khususnya santri Komplek Q yang sering membeli nasi di warungnya adalah “ semoga dalam belajar diberi kemudahan dan kelancaran sehingga bisa menjadi orang yang berguna. Semoga Sukses! Doakan saya juga, supaya saya selalu sehat”. Enggih, semoga ibu dan bapak selalu diberikan kesehatan. Terimaksih untuk semua kebaikan Ibu dan Bapak, semoga Allah membalas setiap kebaikan yang engkau berikan kepada kami. Dan kami akan selalu merindukan tempe crispy buatan Ibu Tugirah.
Oleh : Apriliya M