Masuk kedalam bab awal kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah lebih dulu membahas terkait masalah-masalah aqidah, bagaimana kesalahan parameter kekufuran dan kesesatan di zaman sekarang. Penjelasan pada fasal pertama yakni mengenai “Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur Secara Membabi Buta”. Tidak boleh atau dilarang semena-mena memvonis kafir seseorang kecuali orang tersebut termasuk ke dalam 7 perkara ini:
- Menghilangkan eksistensi Allah dalam hal penciptaan
- Menghilangkan eksistensi Allah dalam hal ke maha kuasaannya
- Melakukan perbuatan syirik secara nyata
- Mengingkari kenabian
- Mengingkari perkara-perkara yang menjadi prinsip agama
- Mengingkari ajaran-ajaran yang mutawatir
- Mengingkari perkara yang sudah di jadikan ijma’
Pada poin nomor 5, prinsip-prinsip agama yakni perkara yang pasti atau wajib diketahui oleh seorang muslim dalam syari’at agama islam. Contohnya dalam hal ketauhidan terkait larangan untuk tidak mengesakan Allah dan sama sekali tidak mengetahui perihal kenabian nabi Muhammad SAW. Tidak mengakui nabi Muhammad SAW sebagai penutup atau akhir dari para nabi, tidak percaya terhadap hari kebangkitan, tidak meyakini adanya hari perhitungan amal dan hari pembalasan serta tidak meyakini adanya surga dan neraka sebagai tempat kehidupan yang kekal. Maka apabila ada seseorang yang sama sekali tidak mengetahui hal-hal tersebut, baginya dosa yang tidak akan diampuni kecuali orang tersebut adalah seorang mualaf (orang yang baru masuk islam) yang akan diampuni dalam masa belajarnya saja.
Pada poin nomor 6 yaitu mengingkari ajaran yang sifatnya mutawatir. Definisi Mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok sahabat (minimal 3 hadist) yang tidak ditakutkan adanya kesepakatan oleh mereka atas kebohongan. Yang mana hadist tersebut diriwayatkan oleh sekelompok sahabat yang lain. Mutawatir terbagi menjadi 4 macam:
- Dari segi sanad atau dari kelompok perawi’ yang dimaksud adalah mutawatir hadist.
- Dari segi tingkatan atau generasi ke generasi. Contohnya seperti mutawatirnya al-qur’an. Mulai dari timur sampai barat baik dari segi kajian, cara membaca, cara menghafalkannya sudah diterima oleh manusia dari generasi ke generasi. Tidak ada satupun huruf yang tertinggal dan karena kemutawatirnya (masyhurnya) al-qur’an tidak membutuhkan isnad.
- Mutawatir dari segi praktik dan bersifat turun temurun. Contohnya seperti mutawatirnya (masyhurnya) lafadz adzan dan jumlah raka’at salat yang bermula dari zaman nabi hingga saat ini.
- Mutawatir dari segi informasi. Contohnya seperti mutawatirnya cerita-cerita mukjizat para nabi, dan tidak boleh mengingkari bahwa nabi memiliki mukjizat.
Inti dari pembahasan
Bahayanya menjatuhkan vonis kafir secara membabi buta atau semena-mena. Bahwa hukum di selain 7 perkara tersebut adalah perkara yang amat sangat fatal (amrun khotir). Seperti yang telah dijelaskan dalam hadist:
إذا قال رجل لأخيه فقد باع بها احدهما
“Jika ada seorang laki-laki/perempuan berbicara terhadap saudaranya dengan mengucap kafir, maka vonis kafir itu akan kembali ke salah satu diantara keduanya.” (Hadist riwayat Imam Bukhori dari Abu Hurairoh)
Redaksi dari hadist tersebut ialah apabila ucapan kafir itu benar, maka akan kembali atau tersemat disalah satu kening dari keduanya. Akan tetapi apabila ucapan kafir tersebut hanya sebuah lelucon, maka vonis kafir tersebut akan tersemat pada kening dalam dirinya sendiri. Vonis kafir tidak boleh dikeluarkan kecuali dari seorang ulama’ yang mengetahui cahaya syari’at. Serta mengetahui tempat masuk dan keluarnya kekafiran, mengetahui batas yang memisahkan antara kafir dan iman dalam konteks hukum syari’at yang terang benderang.
Prof. Dr. Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani juga menegaskan untuk tidak boleh semena-mena memvonis kafir bagi seseorang yang melakukan perbuatan maksiat, apabila orang yang bermaksiat tersebut masih mengucapkan dua kalimah syahadat dan di dalam hatinya masih tertanam keimanan. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Al Maliki melarang dengan amat sangat adanya mengkafirkan seseorang dengan membabi buta karena pengkafiran itu merupakan bahaya yang sangat besar.
Perkara yang menjadi pokok keimanan seseorang
Sahabat Annas mengatakan ada 4 perkara yang menjadi pokok keimanan seseorang:
- Alkaffu yaitu menahan diri dengan tidak mengkafirkan seseorang sebab dosa dan tidak mengeluarkannya dari islam sebab perbuatannya dari orang-orang yang telah mengucapkan syahadat “Laa ilaaha illallah”.
- Jihadu Madin yaitu jihad yang terus berlangsung sejak Allah mulai mengutus Nabi dan Rasul sampai akhir umat akan memerangi dajjal.
- Kedzaliman, kejahatan, dan kemaksiatan itu tidak bisa membatalkan jihad dan keadilan seorang pemimpin yang adil juga tidak akan membatalkan jihadnya seorang muslim.
- Iman terhadap takdir Allah SWT.
Oleh: Ria Audina dan Diah Komalasari
Sumber: Disarikan dari Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah oleh Ust. Yunan Roniardian dalam Program Khusus Ramadan 1444 H di PP. Al-Munawwir Komplek Q