mabuk cinta

Mabuk Cinta: Takdir atau Pilihan?

Diposting pada

Cinta yang meluap-luap atau mabuk cinta disebut dengan istilah al-‘isyq. Al ‘isyq ini memiliki berbagai macam perbedaan pendapat dari beberapa sudut pandang. Apakah cinta yang meluap-luap tumbuh karena keinginan/inisiatif individu yang bersangkutan ataukah terjadi mengalir begitu saja atas ketetapan di luar keinginan manusia?

Satu golongan mengatakan bahwa mabuk cinta ini lahir karena adanya ketetapan. Dengan pengibaratan orang yang haus dengan kesejukan air atau keinginan seseorang yang lapar terhadap makanan, yang tentu saja semua perasaan itu muncul begitu saja di luar kekuasaan manusia. Abu Muhammad ibn Hazm, seorang imam Ahlussunnah di Spanyol berkata bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Umar bin Khattab r.a. : 

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah melihat seorang wanita dan aku pun jatuh hati kepadanya.” 

Umar r.a. menjawab: “Itu adalah sesuatu yang berada di luar kuasamu.”

Selanjutnya, dalam kitab Imtizaj Al-Arwah, At-Tamimi menyatakan bahwa: “Seorang tabib pernah ditanya mengenai cinta yang meluap-luap. Tabib tersebut lalu menjawab: “Terbitnya cinta pada orang-orang yang sedang mengalami bukanlah karena inisiatif mereka, keinginan mereka, dan bukan pula karena adanya kenikmatan yang dirasakan oleh kebanyakan di antara mereka. Akan tetapi, terbitnya cinta laksana datangnya serangan penyakit atau wabah berbahaya yang mematikan”.”

Pernyataan mengenai mabuk cinta yang muncul karena ketetapan atau takdir ini didukung oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, diambil dari kisah Barirah yang menceritakan bahwa setelah bercerai, suaminya masih saja membuntutinya. Padahal, Barirah bukan lagi mahram bagi Mughits (mantan suami Barirah). Sementara itu, Mughits yang merasa sangat kehilangan dan air mata selalu mengalir di pipinya. 

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah kemana ia pergi sambil menangis. Air matanya mengalir membasahi jenggot.”

Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Ibnu Abbas, “Wahai Ibn Abbas, apakah engkau tidak takjub terhadap rasa cinta Mughits pada Barirah, namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits?”

Nabi Muhammad saw. berkata kepada Barirah, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits,” 

Barirah bertanya: “Apakah Engkau memerintahkan untuk rujuk?”

Rasulullah saw. menjawab : “Sebenarnya aku hanya ingin menolong”.

Namun, Barirah dengan cepat menjawab, “Aku tidak lagi membutuhkan Mughits”

 

Ternyata, dalam kondisi seperti ini, Rasulullah tidak melarang Mughits untuk tetap mencintai Barirah yang sudah menjadi mantan isterinya, karena Rasulullah menyatakan bahwa hal itu adalah sesuatu hal yang tidak bisa dibendung dan bukanlah hasil dari inisiatif pikiran Mughits sendiri. Orang-orang yang sedang jatuh cinta dan merasakan sakitnya bahkan sampai berkata, “Jika seseorang yang jatuh cinta dapat memilih, maka tentulah tidak akan aku pilih untuk jatuh cinta”.

Sementara golongan lain mengatakan bahwa al-isyq disebabkan oleh adanya inisiatif dari diri sendiri. Cinta dikatakan sebagai sebuah kehendak yang sangat kuat, di mana setiap manusia bisa dipuji atau dicela karena kehendaknya. Itulah sebabnya mengapa seseorang yang memiliki kehendak baik meskipun belum dilaksanakan selalu mendapat pujian. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kehendak buruk selalu mendapat celaan meskipun belum dilaksanakan.

Semua orang yang berakal sehat tentu sepakat bahwa untuk mengecam seseorang yang menyakiti orang lain dengan cintanya. Ini merupakan fitrah yang Allah berikan pada manusia. Jadi, apabila ada seseorang yang beralasan dengan berkata, “aku tidak bisa mengendalikan hatiku”, tentu setiap orang yang mendengar pasti tidak akan menerima alasan tersebut.

Nah, untuk menengah-nengahi pendapat kedua golongan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa esensi dan segala hal yang menjadi penyebab terbitnya cinta adalah bersifat inisiatif. Dan jika sebab itu sudah ada, maka akibat yang timbul setelah adanya sebab tersebut tidak lagi berada di wilayah inisiatif. Kondisi mabuk cinta dapat diibaratkan seperti orang yang mabuk khamr. Meminum khamr adalah tindakan yang berasal dari inisiatif pribadi. Namun, semua akibat yang muncul dari kondisi mabuk setelah meminum khamr sudah masuk ke dalam kawasan atau ranah yang tidak dapat dijangkau dan dikendalikan oleh manusia. Ketika sebuah ‘sebab’ terjadi berdasarkan inisiatif dan tergolong dalam hal tercela, maka hal yang muncul kemudian tidak dapat diampuni. Jadi, karena sebab merupakan sesuatu yang tercela bahkan dilarang, maka pemabuk tidak lagi diampuni perbuatannya.

Oleh karena itu, cinta yang meluap-luap dengan sebab yang tidak terlarang maka yang bersangkutan tidak tercela dan dapat diampuni. Contohnya adalah mencintai istri, kemudian berpisah, namun masih memiliki cinta kepada istrinya dan terus melekat dalam dirinya. Keadaan ini tidak termasuk dalam golongan tercela, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah di atas.

Oleh: Syarifah Zaidah

Sumber: Buku Raudhatul Muhibbin : Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu Karya Ibnul Qayyim Al Jauziyyah [Edisi Indonesia / Cet-1 2011]

Judul buku asli: Raudhatul al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin

Photo by Harli Marten on Unsplash