“Puasaku totalitas, ramadanku berkualitas, bandonganku tuntas!”
Berbicara mengenai tema Program Khusus Ramadan (PKR) 1444 H yang sedang berlangsung, Ustadz Tajul Muluk, M.Ag mengungkapkan bahwa sejatinya tema tersebut bermuara pada kalimat terakhir. Ya, “Bandonganku Tuntas”.
Perbedaan antara lembaga pendidikan pondok pesantren (non-formal) dengan lembaga pendidikan formal adalah sistem dan metode pendidikan yang dipakai. Meskipun tampak ketat dalam mengambil pengetahuan, namun metode pembelajaran yang dipakai di pondok pesantren melalui teks kitab ini mampu mencetak generasi yang intelektual nan agamis. Ada dua metode pembelajaran di pondok pesantren yang sampai saat ini bertahan sejak awal berdirinya pesantren di Indonesia, keduanya ialah bandongan dan sorogan.
Bandongan merupakan suatu metode pembelajaran di mana seorang guru atau kiai membacakan kitab dan memberi makna pada kitab tersebut. Guru atau kiai membacakan sedangkan para santri mendengarkan sekaligus memaknai kitab yang dibacakan oleh guru tersebut. Metode ini menuntut santri agar fokus dalam menangkap penjelasan gurunya baik dari makna tekstual dari kitab tersebut maupun makna kontekstual. Oleh karena itu, membumikan literasi di kalangan santri (mau tidak mau, suka tidak suka/red) adalah suatu hal yang sangat krusial dan akan terus-menerus menjadi PR besar bagi kita semua.
Literasi di kalangan santri dan pesantren sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun hingga saat ini. Pesantren-pesantren yang kerap disebut “pesantren tradisional” sejauh ini akan tetap menjaga tradisi ini sembari terus melakukan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan menjawab tantangan zaman.
Literasi Digital: Media Sosial sebagai Kendaraan untuk Santri Berdakwah
Seiring berjalannya waktu, media dakwah berkembang bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya teknologi informasi. Penemuan-penemuan bangsa Barat dalam perkembangan teknologi informasi berpengaruh cukup besar untuk kemudahan akses informasi ke seluruh dunia, terutama pada abad 20 yang disebut juga sebagai era digital. Era digital adalah era dimana peran media sosial menjadi sangat vital.
Ustadz Tajul mengingatkan kepada santri bahwa di era yang sudah serba digital ini, tidak melulu berdakwah dengan cara face to face.
“Narasikanlah pengetahuan yang kalian dapat dari para kiai, bu nyai, ustadz, ustadzah. Utamanya dalam serangkaian ngaji PKR kali ini. Highlight atau garis bawahi dawuh-dawuh beliau. Buatlah konten di media sosial dari hal tersebut. Ketika ada orang yang membaca postingan kita lantas ia ikut mengamalkan hal baik karena efek dari postingan yang kita unggah, Insyaa Allah menjadi amal jariyah untuk diri kita masing-masing,” tegas Ustadz Tajul.
Ilmu agama yang diperoleh santri jangan hanya dipendam untuk diri sendiri, namun perlu disebarkan kepada publik pula. Sistem dakwah melalui media sosial seperti ini akan lebih efektif dan fleksibel sehingga khalayak umum bisa menyimak dakwah kapan saja dan di mana saja. Di sinilah letak urgensi media sosial sebagai kendaraan dakwah santri di era digital.
Disarikan dari Kuliah Subuh 31 Maret 2023 pada Program Khusus Ramadhan 1444 H
Pewarta: Siti Shofia Latifah Azzahra
Foto: Dokumentasi Pribadi