Menulis Sebisanya, Menulis Kebaikan

Diposting pada

Siti Jazimah Muhyiddin, yang dulu menggunakan nama pena Jazimah Al Muhyi ini mulai menapaki Komplek Q pada tahun 1994. Lika-liku kehidupan, membuatnya menemukan jati diri. Sampai suatu ketika saat nama Jazimah Al Muhyi sudah kondang sebagai penulis nasional, Ibu kandungnya menegur.

Kowe kok ratau ngisi (acara) neng pesantren NU!”

Mbak Jazim – sapaan akrabnya – dengan santainya menjawab, “Lha pripun Bu, pesantren NU tidak pernah mengundang saya. Mungkin pesantren NU memang tidak butuh penulis, yang dibutuhkan adalah yang pandai mengaji.”

Jawaban yang telontar merupakan hasil olahan dari manis-pahitnya kehidupan yang telah dilalui oleh Mbak Jazim. Ia pernah berkelana menjajaki berbagai komunitas Islam yang ada.

Di sisi lain, Mbak Jazim pernah berada pada titik putus asa dan kembali pada ajaran NU seutuhnya setelah sebelumnya ia pernah meninggalkan berbagai amalan khas Nahdhiyyin. Saat itu ia berada pada ambang keputusasaan. Merasa tidak mungkin untuk kembali ke komunitas lama, kembali kepada penerbit yang dulu pernah menerbitkan karya-karyanya. Dan kini ia sudah kembali ke NU, akan tetapi ia bingung di mana tempat yang akan menaungi karyanya selanjutnya.

Teringat dalam benaknya sosok KH. Ahmad Warson Munawwir (Bapak) yang pernah memperkenalkannya di depan tamu-tamu beliau. Bapak memperkenalkan Mbak Jazim sebagai salah satu santrinya yang istimewa karena ia adalah seorang penulis. Hal itu yang selalu ia ingat dalam pikiran dan ia gaungkan dalam hatinya sehingga membuatnya semangat lagi dalam menulis. Ia tanamkan dalam hatinya, meskipun Mbak Jazim merasa tidak bisa mengaji, mungkin ia bisa bermanfaat di lain tempat dengan cara menulis. Menulis apa saja yang menurutnya itu suatu kebaikan. Menulis sebisanya.

Berkat pengembaraannya di dunia luar, ia mengetahui betapa kuatnya jaringan yang tidak sepaham dengan NU. “Kaum santri itu memiliki banyak ilmu, akan tetapi sayang sekali belum ada pembinaan khusus untuk menulis”, tukas Mbak Jazim.

Mbak Jazim menaruh banyak harap kepada para santri agar punya semangat untuk belajar menulis karena kini adalah era media sosial di mana cara berkomunikasi seringkali diungkapkan dengan tulisan. Sehingga apabila santri tidak memiliki kemampuan menulis, maka bagaimana santri dapat mengemukakan pendapatnya? Tentu saja pendapat yang didasari oleh ilmu dan pengetahuan yang dipelajari di pesantren. Dengan demikian, santri harus berjuang agar mahir menulis. Agar menghasilkan tulisan yang berkualitas, santri harus banyak membaca, dan tentu saja harus berilmu.

Oleh: Ipi

Foto: Thomas Lefebvre di Unsplash