Sosok Pahlawan – Kehidupan pribadinya yang mulia, luhur, ikhlas, dan santun sudah tidak diragukan lagi dikalangan pondok pesantren dan santriwati komplek Q. Muhammad Zaenuri yang kerap dipanggil Kang Nuri, santri ndalem yang telah menjadi tangan kanannya guru kami, Bapak K.H. Ahmad Warson Munawwir. Sosok lelaki lahiran Magelang, 28 Juli 1995 ini bisa dibilang sebagai salah seorang santri abdi ndalem kesayangan beliau. Kedekatan dan kebersamaan Kiai Warson dengan Kang Nuri jauh lebih intensif dibanding dengan santri lainnya.
Berikut penuturan Kang Nuri terkait kisahnya di Komplek Q.
“Pada awal saya lulus SD, usianya masih 15 tahun pada tahun 2010. Saya sudah punya cita-cita ketika lulus SD langsung pingin mengaji di luar lingkungan. Tak disangka-sangka ternyata di Jogja berada di pondok pesantren komplek Q ini. Saya tau paman sudah di komplek Q, dan paman sedang mencari teman di ndalem. Saya kira saya akan ditempatkan di pesantren putra seperti anak biasanya, tetapi ketika saya bertanya kepada paman mengapa saya ditempatkan di sini. Paman menjawab, yang dimaksud mondok itu ya belajar mengaji plus ngabdi di ndalem. Lalu saya bertanya kembali, ‘terus nanti ngajinya dimana paman? Di pondok pusatkah?’. Paman menjawab, ‘ngjajinya pertama di pondok AB pusat. Kedua di kompek L dan Abah Nanang Fairus. Ketiga saya langsung di sekolah sama bapak ibu nyai di MTs Ali Maksum dan ngaji di Ali Maksum. Keempat kembali lagi ngajinya bersama Abah Nanang Fairus. Dari situ saya mulai ikut keluarga ndalem atas ajakan paman yang mana beliau sebelumnya sudah menjadi santri ndalem.”
Kang Nuri sangat dipercayai oleh keluarga ndalem dalam mengurusi segala kebutuhan ndalem, seperti dalam pekerjaan mencuci mobil. Melalui perantara Kang Nuri pula apabila keluarga ndalem ingin meminta tolong untuk memanggilkan santri ndalem yang lainnya. Ketika Bapak atau Ibu sakit, Kang Nuri langsung bergegas membelikan obat. Kedekatan Kang Nuri dengan keluarga ndalem membuat ia selalu dicari.
“Kalau saya tidak terlihat sehari saja, pasti dicari. Kadang bapak atau ibu mengirimkan SMS langsung.” ujar Kang Nuri. Sebelumnya bapak pernah meminta nomor handphone secara langsung, “piro nomormu, ben aku nek ana apa-apa luwih kepenak” ucap Kang Nuri menirukan bapak.
Sebuah kenangan yang selalu membekas di ingatan Kang Nuri adalah ketika ia diajak sholat jum’at bersama bapak. Ia merasa sudah diperlakukan seperti layaknya keluarga sendiri. Sesampainya ditempat, ketika turun dari mobil hendak jalan menuju masjid PP. Al-Munawwir, beliau berjalan sambil menuntun Kang Nuri. Begitu sholat jama’ah usai, bapak meminta kang nuri untuk menunggunya. Beliau pun kembali jalan menuntun Kang Nuri masuk ke dalam mobil. Sampai akhirnya ketika hendak masuk ke ndalem tetap dituntun.
“saya rikuh sendiri, bukannya saya yang menuntun beliau, malah saya yang dituntun beliau” ungkap Kang Nuri. Meskipun sangat dekat dengan keluarga ndalem, Kang Nuri tetap hormat dan takzim.
Kepergian bapak merupakan hal duka bagi seluruh santri Komplek Q, termasuk Kang Nuri.
“setelah kepergian bapak selama tujuh hari, saya sering memimpikan beliau”, kenang Kang Nuri. Kang Nuri sendiri memiliki ikatan yang sangat kuat terhadap bapak. Suatu ketika mendengar kabar kalau bapak meninggal kang nuri sangat kaget karena sebelumnya beliau sempat berpamitan dihadapannya. Setelah mendengar kabar tersebut ia mengaku tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Pada hari itu sebelum kejadian, Kang Nuri sedang tiduran di kamarnya usai bertugas menemani beliau tidur malam. Tiba-tiba ada dua santriwati ndalem yang menghampirinya seraya berkata, “Ri, ada apa dengan bapak kok ibu menangis di ndalem? Semalam bapak sare belum?”, tanya salah seorang santri ndalem. Kang Nuri merasa semua baik-baik saja, ia bingung. Ia segera menuju ndalem. Namun bapak dalam keadaan kritis dan telah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kang nuri bermaksud untuk menyusul, tetapi selang beberapa waktu banyak rombongan yang membawa beliau telah kembali lagi ke ndalem, mengabarkan berita duka bahwa bapak telah dipanggil kehadapan-Nya.
Kang nuri masih ingat, disaat malam sebelum kepergian bapak. Secara tidak langsung beliau sempat berwasiat kepadanya. Ketika tengah duduk santai di ruang tengah, beliau menyampaikan, “kamu jangan kemana-mana, di sini aja temenin ibu. Manut dengan dawuhnya ibu. Pondoknya dirawat, kalau ada yang rusak cepat dibenarin. Kalau tidak bisa minta tolong tukang. Bangku, meja kalau kotor dirapikan kembali, dicat, dibuat ngaji lagi.”
Intensnya interaksi anatara Kang Nuri dengan bapak, mengakibatkan beberapa hari setelah menginggalnya bapak, Kang nuri mengaku sering berjumpa dengan bapak melalui mimpi. Ia masih teringat penggalan kata di dalam mimpinya saat berjumpa dengan bapak. Sehari setelah bapak meninggal, beliau berpesan kepada kang nuri, isi pesan tersebut mirip dengan pesan terakhir bapak berwasiat sebelum bapak meninggal ”Ri, kamu jangan kemana-mana. Temenin ibu. Pondoknya dijaga, aku disini”. Hari berikutnya Kang Nuri tertidur saat di ndalem masih sibuk menerima pentakziah yang datang. Dalam tidurnya lagi-lagi ia bertemu bapak dan beliau berpesan “Ri, ri ayo ikut aku ke ndalem bantuin aku di ndalem”. Ketika terbangun dari mimpinya, Kang Nuri bergegas menuju ndalem. Ternyata benar bahwa Kang Nuri diminta bantuan untuk membereskan buku-buku bapak.