Ngaji Fiqih Nisa’: Cara Islam Memuliakan Perempuan (3)

Diposting pada

Fiqih nisa’ selanjutnya adalah tentang pembangkangan istri, yaitu nusyuz. Dalam QS. An-Nisa ayat 34 menjelaskan bahwa seorang istri yang nusyuz, maka suaminya boleh menasihati, kemudian jika nasihat belum cukup maka pisah tempat tidur, jika itu belum cukup pula, maka boleh memukul istri. وَاضْرِبُوهُنَّ dalam Tafsir At-Thabari dan Al-Qurtubi menjelaskan dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Pukulan bertujuan untuk mendidik, bukan untuk menyakiti istri. Penjelasan dalam Tafsir Mar’ah Labib pukulan kepada istri ini tidak boleh di bagian kepala, wajah, dada, kemaluan, dan kaki bagian depan, boleh melakukan pukulan di bagian tubuh yang banyak dagingnya, seperti bagian bokong. Alat untuk memukul pun tidak boleh melebihi besarnya ukuran kayu siwak, panjangnya tidak boleh melebihi panjang kayu siwak. Jelas pukulan yang seperti ini tidak menyakitkan, karena pukulan tersebut bertujuan untuk mendidik bukan menyakiti. Seorang yang memahami Islam dengan benar tentu tidak akan memukul istrinya atau melakukan kekerasan lain pada istrinya.

Pak Ikhsan dalam kesempatan tersebut juga menceritakan cara KH. Zainal Abidin Munawwir dalam mendidik istrinya, Bu Nyai Ida Fatimah Zainal. Ketika Bu Nyai Ida melakukan hal yang kurang pas, Kyai Zainal memberikan kitab ke Bu Nyai Ida dan mengatakan “Dik Ida, Iki woconen” (“Dik Ida, ini dibaca ya”) setelah beberapa menit membaca kitab, kemudian Bu Nyai Ida merespon “Wah, njenengan ki nyindir aku yo mas” (“Wah, kamu ini nyindir aku ya mas”). Begitulah cara Kyai Zainal mendidik istrinya, dengan ilmu, dengan kebijaksanaan, bukan dengan pukulan, amarah, atau kekerasan.

Fiqih Nisa’ Talaq

Pembahasan fiqih nisa’ selanjutnya adalah tentang talaq. Salah satu yang tidak boleh dalam Islam adalah mudah mengatakan talaq. Pada zaman Rasulullah, seorang suami yang menjatuhkan talaq tiga kali dalam satu majelis terhitung sebagai jatuh talaq bain, tidak bisa rujuk kembali, namun pada zaman Sayyidina Umar bin Khattab lahir fiqih progresif yang menyebutkan bahwa talaq tiga kali dalam satu majelis terhitung sebagai satu kali talaq. Hal ini tentu menjadi perdebatan di kalangan sahabat, karena ini menyalahi aturan fiqih dari Rasulullah.

Ketika bertanya kepada Sayyidina Umar  alasan mengeluarkan fatwa tersebut, jawaban beliau adalah “Pada zaman Rasulullah orangnya seperti aku, sedangkan pada zamanku orangnya seperti kalian”. Artinya, pada zaman Rasulullah, umat sangat berhati-hati dalam berkata dan mengambil keputusan, mempertimbangkan baik dan buruknya. Berbeda pada zaman Sayyidina Umar, umat semakin tidak berhati-hati dan mudah mengatakan dan memutuskan sesuatu tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Sayyidina Umar terbilang sebagai sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa baru yang berbeda, hal ini karena Sayyidina Umar tahu betul ‘ilatul hukmi, beliau tahu betul alasan yang melatarbelakangi lahirnya suatu hukum.

Baca juga Peringatan Hari Trikora

Perempuan secara kodrat memang berbeda dengan laki-laki, namun tidak boleh dibedakan secara sosial dan budaya. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perempuan sudah seharusnya ditafsirkan secara dialogis antara teks dan konteks.

Oleh: Hanin Nur Laili

Foto : Dokumentasi Pribadi

Sumber:

Ngaji Fiqih Nisa’ dalam Rangkaian Orientasi Studi dan Pengenalan Pondok Tahun 2021 dengan Narasumber Ustaz M. Ikhsanuddin, MSI. (Dosen Tafsir di Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur Ngrukem, Yogyakarta).