Berdirinya PP Al Munawwir Komplek Q pada tahun 1989 tidak bisa lepas dari peran para santri putra yang mengaji langsung kepada K.H. A. Warson. Satu di antara santri tersebut adalah Ustaz Suhadi Chozin. Pada tahun 1983, lelaki asal Blitar tersebut hijrah ke Krapyak, tepatnya di Komplek L. Sebelum Komplek Q berdiri, Bapak—sapaan akrab para santri kepada K.H. A. Warson—mengadakan pengajian bandongan di rumah beliau. Di antara kitab-kitab yang dikaji adalah kitab Ibnu ‘Aqil Afiyah, Mau’idhotul Mu’minin, dan syi’ir-syi’ir. Dari pengajian bandongan inilah awal mula Ustaz Hadi dekat dengan Bapak.
Bapak kerap kali memanggil santri yang ikut mengaji bandongan ke ndalem untuk persiapan berdirinya Komplek Q. Pada saat itu hanya ada dua santri putra yang masih berusia tingkat Aliyah di ndalem Bapak, sementara Bapak membutuhkan santri-santri yang lebih senior untuk membantu persiapan beridirinya asrama putri.
“Nah, kedekatan saya dengan Mbah Yai Warson itu karena saya yang ingin mendekat ke beliau meskipun saya tidak bisa mengaji, sehingga saya sering didawuhi, ditimbali. Beliau sering memanggil saya untuk membantu beliau seperti menyediakan kitab atau apa yang digunakan untuk sumber pengajian,” cerita Pak Hadi.
Pertama kali Komplek Q berdiri, masih terdiri dari musala timur atau biasa dikenal dengan mustim. Setelah Muktamar NU Ke-28 di Krapyak, kedekatan Pak Hadi dan Bapak mulai terjalin. “Mungkin karena beliau merasa cocok dengan saya. Bapak itu merasa nyaman ketika menyuruh saya. Ketika bapak memberi wejangan insyaallah saya selalu melakukan dengan semaksimal mungkin,” ujar Pak Hadi.
Berbicara mengenai kedekatan santri dan kiai, Pak Hadi bercerita bahwa dulu santri sangat suka bahkan mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan wejangan dari kiai. Dengan niat mendekat kepada masyayikh, para santri menjabat tangan kiai secara tiba-tiba sambil bertanya, apa yang mau dibantu “nopo ingkang saget Kulo bantu?” Seperti itu dalam bahasa Jawa Krama.
Hal demikian juga dilakukan oleh Pak Hadi. Di mata Bapak, Pak Hadi memiliki nilai plus. “Padahal saya tidak bisa mengaji. Namun namanya senang pasti ada plusnya tersendiri menurut beliau,” kenang Pak Hadi.
Dahulu, hubungan seorang kiai dan santri dapat dibilang sangat akrab. Meskipun adanya ketidaktahuan atau tidak bisa mengaji, tetapi ada nilai plus berupa keakraban. Hal tersebut juga terjadi dalam hubungan Bapak dan santrinya. Menurut Pak Hadi, bapak adalah sosok yang sangat dekat dengan santri. Bapak begitu mengutamakan keakraban, sampai-sampai tidak ada jarak seperti bapak dan anak.
Kedekatan itu terjalin hingga santri sudah menjadi alumni. Ketika ada reuni, mayoritas yang hadir adalah santri angkatan lama. Santriwati yang mondok pada masa awal-awal berdirinya Komplek Q, merupakan santri-santri yang sudah berusia dewasa dan cekatan dalam melakukan suatu pekerjaan. Hal tersebut tercermin ketika Ibu Warson mempunyai hajat, santriwati akan membantu melakukan apa yang dibutuhkan oleh ibu, bahkan sampai rebutan mendapat jatah tugas dari ibu.
Zaman terus berubah, hal tersebut juga disadari Pak Hadi membawa dampak pada karakter santri masa kini. Menurut beliau, terjadi semacam perenggangan hubungan antara kiai dan santri. “Muncul pemikiran baru yang menjadikan sedikit kemunduruan, seperti tabarrukan yang jarang diselenggarakan,” dalih Pemilik LU Grafika tersebut.
Suatu hari, Pak Hadi pernah berpesan kepada santri-santri agar ketika sowan kepada para kiai dan guru, tidak lupa untuk meminta doa sebagai bentuk ngalab berkah. Bagi Pak Hadi, hal tersebut sangat penting agar mendapatkan fadhol keberkahan dari kiai dan guru. Hal ini juga dapat memunculkan rasa tawadhu’ dan hikmah yang melekat pada diri santri.
Mondok sambil Kuliah atau Kuliah Sambil Mondok?
Sebagian besar dari santri Komplek Q adalah santri mahasiswa. Oleh karena itu, sebagian besar kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan pada malam hari dan pagi setelah subuh. Kondisi santri yang mayoritas mahasiswa disadari oleh Pak Hadi. “Bapak dulu berkata, niatmu itu mondok sambil kuliah, jangan kuliah sambil mondok,” kata Pak Hadi menirukan ucapan almarhum Bapak.
Prinsip itu merupakan mindset pertama yang harus ditanamkan meskipun kenyatan di lapangan menunjukkan kuliah yang diutakaman daripada pondok. Menunda mengaji dengan mengutamakan kuliah membuat ngaji tidak maksimal. Padahal, ketika sudah lulus kuliah, yang dicari santri adalah pekerjaan bahkan jodoh. Oleh karena itu, ngaji harus diselesaikan dan dimaksimalkan terlebih dahulu, karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkan pasca kuliah. “Kecuali bagi yang mendahulukan kuliah dengan memiliki niatan ngaji dulu sambil mengabdi, namun sedikit yag seperti itu, sekitar 10% saja.,” imbuh beliau.
Selama mengajar madrasah diniyah dan bandongan, bukan berarti Pak Hadi tidak memperhatikan para santri. Menurut beliau, saat mengaji malam misalnya, santri berangkat mengaji hanya sekadar berangkat. Ketika diminta untuk menulis di bukunya, hanya menulis di awal saja. Kemudian hilang nyawnya alias ketiduran. Melihat hal demikian, Pak Hadi berpendapat bahwa santri tersebut menganggap ngaji hanya sekadarnya saja. “Makanya mumpung masih di pondok perlu dibangkitkan semangat untuk mengaji,” pesan Pak Hadi.
Sebelum dilakukan pengamatan mengenai alasan santri tidak mengaji dengan semangat, timbul pertanyaan apakah faktor guru, materi, atau cara penyampainnya? Setelah mengamati, Pak Hadi melihat ketika mengaji bandongan sore yang awalnya dijadwalkan pukul 16.00, santri baru datang 15 menit kemudian. Dan itupun hanya ada beberapa santri saja. Ketika waktu menunjukkan pukul 16.30, santri mulai berdatangan dengan jumlah yang agak banyak. Hingga mengaji akan selesai, masih banyak santri yang baru datang, bahkan makin banyak.
“Padahal santri dulu selalu datang lebih awal dibandingkan gurunya sampai² mengantri. Kasarannya guru datang baru santri datang bukan santri siap baru guru datang. Ini berarti menurun di ihtimamnya,” ujar Pak Hadi yang mengajar ngaji bandongan kitab Jawahirul Bukhari tersebut.
Hal yang menjadi pokok untuk ditingkatkan adalah adalah semangat untuk mengaji. Waktu mengaji yang maksimal adalah masa-masa usia kuliah ini. Kalau kuliah sudah usai, hal yang dipikirkan bukan mengaji. Seperti kalau sudah S2, hal yang dipikirkan adalah penelitian. Padahal, menurut Pak Hadi, bahwasanya yang membawa kemanfaatan nantinya di masyarakat adalah ilmu di pesantren. Ilmu kampus hanya menjadi wawasan, sementara ilmu yang digunakan untuk sehari-hari—misalnya dengan keluarga—adalah ilmu di pesantren. .
Mempelajari kitab-kitab kecil yang berisi akhlak akan menjadi cerminan di masyarakat bahkan mempelajari tentang bagaimana suami dengan istri atau istri dengan suami. “Kalau mampu menyerap pelajaran pesantren dengan baik maka akan selesai (urusan di masyarakat),” dalih Pak Hadi.
Bagi Pak Hadi, kampus merupakan penambah wawasan berpikir , tetapi tidak pada ruhnya. Makanya kiai itu tidak begitu condong ke arah sana. “Seperti duduk menghadap kiai sama dengan duduk menghadap dosen setelah itu dosen memberi nilai A ya sudah. Ini tidak menyalahkan kampus atau gimana ini hanya santri yang ada di pesantren harus ditingkatkan ilmu halnya,” imbuh beliau.
Menjelang Hari Santri Nasional, harusnya menjadi momentum santri untuk membangkitkan semangat mengaji. Pak Hadi berpesan agar para santri menumbuhkan semangat mengaji. Selain itu, beliau juga berpesan tentang pentingnya memupuk persaudaraan di pesantren,
“Tumbuhkan semangat kesetiakawanan (ukhuwah) karena kalau tidak diperhatikan maka merasa tidak ada ikatan dengan teman, itu sangatlah penting seperti rasa mahabbah terhadap teman , كالبنيان للمؤمن المؤمن itu mestinya lebih mudah diterapkan oleh santri, maka ketika itu muncul rasa mahabbah terhadap teman maka kita menjalin dengan erat,” pesan Pak Hadi kepada para santri.