Pak Muslih dan Kisahnya bersama Kamus Al Munawwir

Diposting pada

Muslih Ilyas atau yang lebih dikenal dengan sapaan Pak Muslih. Beliau merupakan salah satu santri Mbah Warson dan salah satu ustaz yang mengajar di Komplek Q. Beliau mengajar di Komplek Q sejak beberapa tahun setelah Komlek Q berdiri, atas dawuh langsung dari Bapak beliau mengajar di Komplek Q.

“Slih, kowe mulang tafsir Jalalain (Sli, kamu mengajar tafsir Jalalain)”, begitu dawuh Bapak, panggilan khas santri kepada almarhum Kiai Warson. Akhirnya beliau mengajar tafsir Jalalain untuk santri-santri tahfiz hingga sekarang. Tidak hanya itu, di Komplek Q Pak Muslih juga mengajar di madrasah diniyah, pengajian bandongan, dan sering pula didawuhi untuk mengisi pengajian Jumat Pon.

“Sebagai santri, selama saya didawuhi kalau saya bisa mengerjakan, ya saya kerjakan”, begitu kiranya prinsip beliau.

Suatu ketika Bapak dawuh meminta beliau untuk mengurus Kamus Al Munawwir. Bagi beliau ini adalah amanah yang sangat berat, tetapi karena kepercayaan yang telah diberikan maka beliau berusaha keras bagaimana bisa membawa amanah tersebut. Awal mula perjanjian kamus Al Munawwir dengan penerbit hanya perjanjian di atas materai. Karena kamus ini merupakan sesuatu yang sangat berharga, beliau pun mengusulkan agar perjanjian Kamus Al Munawwir dengan penerbit itu bukan hanya perjanjian di atas materai, tetapi perjanjian notaris. Bagi beliau yang tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang penerbitan dan berbekal sebagai santri yang diamanahi oleh Pak Yai akhirnya Kamus Al Munawwir pun terbit dengan perjanjian di atas notaris. Perjanjian yang berisi antara pihak pertama, yaitu pengarang kamus sendiri, KH. Ahmad Warson Munawwir, pihak kedua penerbit yaitu Pustaka Progresif yang berlokasi di Surabaya, dan pihak ketiga Bapak Muslih sebagai mediator antara pengarang dan penerbit. Akhirnya pada waktu itu Pak Muslih pun bersama Bapak datang ke Surabaya untuk menyerahkan notaris tersebut dan ditandatangi di depan penerbit. Mulailah Kamus Al Munawwir dicetak. Bapak yang semula hanya menargetkan terbit satu tahun 15.000 pada kenyataannya justru melebihi itu. Satu tahun bahkan bisa sampai 2 kali terbit. Penerbit pun merasakan ada sesuatu yang luar biasa di sini.

Almarhum Bapak Warson merupakan sosok yang ketika sudah mempercayai seseorang, maka beliau akan mempercayakannya terhadap sesuatu yang lebih. Ada suatu kisah lain tentang Kamus Al Munawwir yaitu dahulu pernah ada seorang doktor dari Malaysia yang datang ke rumah Bapak untuk meminta izin menerjemahkan Kamus Al Munawwir ke dalam bahasa Malaysia. Saat itu Bapak langsung menelpon Pak Muslih, menimbali (memanggil) untuk segera menemuinya. Bapak menceritakan hal tersebut dan ngendika (berkata) kepada Pak Muslih,

“Wes tak pasrahke awakmu, arep mbok tolak aku manut, arep mbok tompo aku manut. (Sudah aku pasrahkan kepadamu, terserah apa mau kamu tolak atau diterima. Aku ngikut)

Begitu kiranya dawuh Bapak. Sontak Pak Muslih bingung yang luar biasa karena ini merupakan proyek yang sangat besar. Akhirnya dalam benaknya entah pikiran dari mana beliau seketika memutuskan,

Niki ajeng saya terima kalo dia memenuhi tiga syarat, asalkan mereka mau dengan tiga syarat ini. Syarat pertama, Kamus Al Munawwir edisi Malaysia tidak boleh beredar di Indonesia. Kedua, Kamus Al Munawwir edisi Malaysia dicetak di Indonesia, bukan di Malaysia. Ketiga, pembagian royalti/komisi antara penerjemah, penulis naskah, dan penerbit itu harus jelas. Nek dia mau memenuhi tiga syarat ini saya penuhi, tapi kalo memang tidak mau, ya tidak saya penuhi, tak tolak.”

Beliau memberi tiga syarat tersebut memiliki alasan masing-masing dan menjelaskannya kepada Bapak. Namun, bagaimana pun itu Bapak sudah pasrah kepada Pak Muslih, mau diterima atau ditolak beliau manut. Akhirnya pihak penerjemah dari Malaysia tidak mampu memenuhi syarat tersebut dan Pak Muslih pun menolaknya. Padahal penerjemahan sudah dimulai, hingga akhirnya teks yang sudah diterjemahkan pun diminta oleh Pak Muslih.

Bagi beliau, Pak Muslih, ini merupakan sejarah yang tidak terlupakan. Bagaimana ketika dalam keadaan demikian, seorang santri dipasrahi sesuatu yang besar, hingga akhirnya beliau mampu memutuskan hal demikian.

Sosok Pak Muslih yang sederhana di mata para santri dan ustadz yang selalu datang tepat waktu ini, dahulu pernah terjun ke dalam dunia politik bahkan sampai menduduki kursi DPRD provinsi DIY. Bagi beliau hal tersebut merupakan salah satu keberkahan yang luar biasa dari pada guru, para Kiai. Beliau yang dulu sering dijuluki Muslih DPR pada zaman masih mondok mendapat tugas di dapur Mbah Ali. Akhirnya justru julukan tersebut menjadi do’a bagi beliau. Beliaupun tidak pernah menyangka hal tersebut.

Menjelang peringatan hari santri ini, Pak Muslih pun berpesan, sebagai santri kita harus benar-benar menjaga keberadaan sebagai santri. Artinya, santri harus ikut aktif dalam menjaga keberadaan NKRI. Adanya peringatan hari santri ini merupakan bentuk penghargaan dari negara terhadap santri sehingga momentum ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Tidak hanya dalam event-event kegiatan santri akan tetapi lebih pada bentuk nyata dalam keseharian yaitu menjaga identitas sebagai santri. Termasuk menjaga identitas pendidikan moral yang menjadi simbol pesantren yang seharusnya kita junjung tinggi. Mengingat tidak ada lembaga lain yang mampu menciptakan pendidikan akhlak seperti pesantren. Sehingga seharusnya sebagai santri mampu menjaga keberadaan sebagai santri dan menjaga identitas sebagai santri. Begitu kiranya pesan Pak Muslih untuk para santri.

Oleh: Asmak Anisah, dkk