Pak Yusuf dan Kesannya terhadap Komplek Q

Diposting pada

Yusuf Thoha atau yang lebih akrab disapa Pak Yusuf merupakan salah satu ustaz yang mengajar di Komplek Q. Beliau telah mengajar sejak Komplek Q berdiri. Sebelum Komplek Q berdiri seperti sekarang, hanya ada pengajian Riyadus Sholihin dan Kifayatul Akhyar untuk semua kalangan dan juga belum ada kamar-kamar. Setelah Muktamar NU yang dilaksanakan di Krapyak pada tahun 1989 mulai ada kamar untuk santri pondok. Pada waktu itu hanya ada tujuh santri termasuk beliau.

Sejak kecil Pak Yusuf ikut ndalem karena didawuhi Bapak. Beliau sering didawuhi Bapak untuk mbadali ketika mengaji sorogan. Tidak hanya karena dawuh dari Bapak, ternyata Ibu Nyai Warson juga. Meski sebenarnya Pak Yusuf tidak memiliki keinginan mengajar, tetapi sudah mendapat amanah untuk ngajar.

Diceritakan dari Pak Yusuf, sebenarnya almarhum Bapak menginginkan Komplek Q sebagai pondok yang santrinya pandai berbahasa. Mengingat bahwa almarhum Bapak memang ahli dalam bahasa. Ketika ikut rapat pertama kali madrasah diniyah bersama Pak Habib Syakur, Pak Taufik, Pak Thoifur, dan Pak Suhadi sudah diarahkan ke bahasa dan fiqh juga. Akan tetapi hingga saat ini kebahasaannya malah belum berjalan. Seiring berjalannya waktu, Pak Yusuf mendengar bahwa Bapak menginginkan adanya pendidikan formal di Komplek Q, bahkan memiliki keinginan sampai ke perguruan tinggi yang sampai saat ini mulai dirintis. Selain mendirikan Komplek Q, Bapak juga mendirikan madrasah diniyah yang saat ini bernama Madrasah Salafiyah III. Bapak juga mendirikan pengajian-pengajian seperti pengajian bandongan.

Komplek Q di Masa Sekarang

Pak Yusuf melihat santri-santri Komplek Q yang luar biasa. Dalam hal kepengurusan pondok maupun kepengurusan madrasah diniyah, sejak dahulu ndalem iku ora patek melu-melu. Artinya, ndalem tidak pernah terjun langsung, hanya mengontrol dan mengawasi saja. Bapak sudah pasrah kepada santri-santri sehingga santri pun menjadi lebih kreatif dan mandiri. Hanya saja ketika ada yang tidak sesuai, baru diingatkan. Dengan demikian, Pak Yusuf melihat santri menjadi lebih kreatif dalam melaksanakan program atau kegiatan pondok. Kekreatifan itu bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan santri seperti baksos dan harlah yang sudah dilaksanakan kemarin. Tidak hanya itu, untuk menyelesaikan madrasah diniyah pun santri diwajibkan untuk menyusun tugas akhir pondok. Tugas akhir ini hampir seperti skripsi di kampus dan terdapat ujiannya. “Apa ada di pondok lain?”, kata beliau sambil nggujeng. Hanya di Komplek Q, tidak ada di pondok lainnya.

“Ya memang setidaknya untuk pembelajaran bagi anak. Dan setelah saya menjadi pembimbing ternyata anak-anak juga bisa, meski dilihat dari kesempurnaannya ya memang belum sempurna, ya memang kita belajar dengan seperti itu”, tutur beliau.

Dahulu namanya bukan skripsi tetapi talkhis. Talkhis yaitu santri diberi kitab kemudian diterjemahkan dan diringkas isi kitab tersebut dan diujikan. Sehingga pada awal mulanya dulu talkhis dan saat ini lebih menjurus seperti skripsi.

Selain itu, Pak Yusuf melihat perkembangan Komplek Q saat ini sudah ada Qmart, mooyaQ, dan saat ini sedang proses pembangunan gedung baru. Dan perkembangan Komplek Q terasa cepat sekali, mulai dari Q1, Q2, Q3, Q4, hingga Q9 yang saat ini berada di ndalem Pak Yusuf. Sedikit cerita dari Pak Yusuf tentang gedung yang saat ini sedang dalam proses pembangunan itu murni dari Kamus Almunawwir. Ya, kamus populer karya Bapak KH. Ahmad Warson Munawwir.

“Kehati-hatian Gus Nang ketika saya ojok-ojoki ke bank pinjem tidak mau, tak ojok-ojoki ada bantuan pembangunan dari pemerintah, tetap tidak mau. Mungkin keberkahannya di situ,” tutur Pak Yusuf.

Melihat santri saat ini, meliau mengamati bahwa keakaraban antar santri saat ini mulai berkurang. Mungkin karena banyaknya santri saat ini. Berbeda dengan dahulu masih belum terlalu banyak. Selain itu, beliau juga melihat ketawadhu’an santri saat ini berbeda dengan santri yang dulu. Oleh karena itu, menjelang hari santri yang akan jatuh pada 22 Oktober nanti, diharapkan santri semakin meningkatkan rasa tawadhu’nya sebagai cerminan karakter santri itu sendiri.