Melihat dari kasus perkembangan Covid-19 yang semakin merebak, pemerintah tak hanya memberlakukan physical distancing, namun juga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehingga, berbagai kegiatan di luar rumah dibatasi, termasuk kegiatan peribadatan yang biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid, dengan terpaksa harus ditiadakan.
Jika sebelumnya salat jumat ditiadakan dengan diganti dengan salat zuhur di rumah, lalu bagaimana dengan salat Idul Fitri?
Pelaksanaan salat Idul Fitri termasuk dalam perkara sunnah, yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa/hukuman. Umat Islam tentunya masih bisa melaksanakan salat Idul Fitri yang berpahala sunnah tersebut tanpa harus merasa khawatir akan terkena virus Covid-19 yaitu dengan melaksanakan salat Idul Fitri di rumah bersama keluarga atau seorang diri.
Berbeda dengan salat jumat yang dalam mazhab Syafi’i harus dilaksanakan berjamaah minimal 40 orang, salat id boleh dilaksanakan berjamaah dengan minimal 2 orang ataupun dilaksanakan sendiri.
تشرع ايضا (للمنفرد والعبد والمرؤة والمسافر) والخنثى والصغير فلا تتوقف على شروط الجمعة من(و) اعتبار الجماعة والعدد وغير هما.
“begitu juga disyariatkan salat id bagi munfarid, hamba sahaya, perempuan dan musafir, khunsa, dan anak kecil. Shalat id tidak harus memenuhi syarat-syarat salat jumat, seperti harus dilaksanakan berjamaah, jumlah jamahnya dan selainnya.” (Muhammad as-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, Bairut-Dar al-Fikr, juz 1, hal. 310)
Setelah melaksanakan salat id, maka disunnahkan untuk menyampaikan khutbah. Namun, apabila dalam rumah tidak ada yang bisa menyampakan khutbah, pelaksanaan shalat id tetap sah. Sebab, khutbah dalam shalat id bukanlah sebuah syarat sah, melainkan hanya sebuah kesunnahan.
و يستحب للناس استماع الخطبة وليسة الخطبة ولا استماعها شرطا لصحة صلاة العيد لكن قال الشافعي لو ترك استماع خطبة العيد او الكسوف اوالاستسقاء او خطب الحخ او تكلم فيها اوانصرف وتركها كرهت ذالك ولا اعادة عليه.
“dan disunnahkan bagi para jamaah salat id untuk mendengakan khutbah dengan baik. Baik khutbah dan mendengarkan khutbah bukanlah syarat bagi kesah-an shalat id. Kendati demikian, menurut Imam Syafi’I ; ‘Apabila jamaah mengabaikan khutbah shalat id, shalat gerhana, shalat istisqa’, atau khutbah-khutbah haji, atau ia berbicara ketika khutbah berlangsung, pergi atau mengabaikannya, maka saya makruhkan hal tersebut untuknya, dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1431 H /2010. Juz V, hal. 80)
Jika salat id dilaksanakan seorang diri, maka tidak ada anjuran untuk melakukan khutbah. Hal tersebut berdasarkan pendapat yang shahih dan masyhur di kalangan mazhab Syafi’i;
فاذا قلنا بالمذهب فصلا ها المنفرد لم يخطب على المذهب الصحيح المشهور وبه قطع الجمهور.
“Apabila kita menyatakan mengikuti mazhab ini (mazhab Syafi’i) maka salat id yang dilakukan sendiri (tidak berjamaah) menurut pendapat mazhab shahih dan masyhur tidak perlu khutbah (tidak ada anjuran khutbah). Demikian sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas dari kalangan mazhab Syafi’i.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 143 H/2010, juz V, hal. 83-84)
Penjelasan mengenai pandangan fikih salat id di atas, dapat dijadikan pegangan hukum umat Islam yang berada di daerah yang terpapar Covid-19. Menurut para ahli fiqh, dengan adanya kekhawatiran (khauf) akan keselamatan jiwa bisa dijadikan alasan (u’dzur) untuk tidak melaksanakan salat jamaah di masjid. Oleh karena itu, umat Islam yang berada di zona kuning dianjurkan untuk melaksanakan salat id di rumah masing-masing sebagai dispensasi hukum (rukhshoh).
Sementara bagi yang berada di daerah zona merah, haram hukumnya melaksanakan salat id di masjid ataupun di tanah lapang yang sama saja dengan mendatangi kerumunan. Menghindari kerumunan merupakan salah satu usaha untuk mencegah penyebaran Covid-19. Secara fiqhiyyah, menjaga diri agar tidak tertular dan menularkan virus tersebut adalah perkara yang wajib dan harus diutamakan daripada melaksanakan salat id di masjid atau tanah lapang yang merupakan perkara sunnah.
ومتى تعا رض الواجب والمندوب قدم الواجب على المندوب
“Apabila ada pertentangan antara yang wajib dan yang sunnah, maka yang wajib didahulukan dari yang sunnah.” (Syihabuddin al-Qarafi, al-Furuq, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998 M, juz II, hal.223)
–
Sumber : Hasil Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Matsail PBNU
–
Oleh: Husna Nailufar
–
Foto: freepik.com