Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q mengadakan puncak peringatan maulid nabi 1440 H pada malam Jum’at, 22 November 2018. Pengurus dari Divisi Pemberdayaan Sumber Daya Santri (PSDS) menghadirkan Gus Irwan Masduqi, Lc, M. Hum dari Mlangi sebagai pembicara pada pengajian kemarin malam. Dengan mengendarai vespa, Gus Irwan datang pada pukul 21.15, beberapa santri putra menyambut beliau dan mengajak mengobrol di ruang tamu sembari menunggu pengajian dimulai.
Seperti rutinan malam jumat biasanya, pengajian tadi malam juga diawali dengan pembacaan sholawat nabi dengan iringan hadroh Tsamrotul Muna. Pembacaan sholawat dimulai sejak pukul 20.00. Pelaksanaan acara ini berlangsung di musholla barat atau biasa disebut dengan musbar.
Tepat pukul 21.30 Gus Irwan memasuki musbar setelah pembawa acara mempersilahkan beliau untuk memulai pengajian. “Berjumpa lagi dengan saya setelah satu tahun yang lalu, ada yang masih ingat apa yang saya sampaikan dulu?,” ucap beliau sembari membuka pengajian. “Mboten…..” jawab santri-santri serempak. ” Karena tidak ingat, saya akan sedikit mengulangi materi tahun lalu, tentang sejarah Nabi Muhammad Saw. pada kitab versi barat dan bagaimana santri menyikapinya,” ujar Gus Irwan.
Dalam pengajian semalam, Gus Irwan menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pada versi kitab-kitab sejarah barat ada yang menjelaskan kebesaran Islam tetapi juga ada beberapa versi yang mencela. Hal yang paling patut disyukuri adalah terlahir sebagai muslim dan menjadi umat Nabi Muhammad Saw.
Dalam kitab Hayatu Muhammad karangan Husain Haikal menyebutkan bahwa memahami nabi pada zaman sekarang tidak semudah pada zaman dahulu. Para sahabat, apabila terjadi perselisihan, tinggal datang ke nabi. “Datang ke nabi, kemudian nabi menjawab dengan ayat,” kata Gus Irwan. Selanjutnya pada zaman sekarang, muslim harus membuka Alqur’an dan hadist terlebih dulu. Sehingga hal itu memunculkan kelompok-kelompok yang menyerukan kembali ke Alqur’an dan hadist.
Kembali ke Alqur’an dan hadist memunculkan jalan yang berbeda-beda. Santri kembali ke Alqur’an dan hadist dengan menggunakan ilmu-ilmunya, bukan dari terjemahan. “Tidak mungkin mengetahui Alqur’an tanpa mengetahui sebab turunnya,“ dalih kiai muda jebolan Al Azhar Mesir ini.
Gus Irwan mencontohkan tentang asbabul wurud suatu hadist. Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat berjalan ke masjid. Di tengah perjalanan, ia mendapati duri di jalan. Ia hendak mengambilnya, tetapi ia khawatir akan ketinggalan jama’ah di masjid. Akhirnya ia memutuskan untuk ke masjid terlebih dahulu, kemudian kembali lagi ke jalan untuk menyingkirkan duri tersebut.
Setelah sholat selesai, ia kembali ke jalan. Alangkah kagetnya ia, ternyata duri tadi sudah tidak ada. Ia coba mencarinya, dan ternyata seorang Yahudi telah menyingkirkannya. Kemudia ia kembali ke Rasulullah untuk menanyakan ihwal tersebut. Rasulullah bersabda, niatul mu’min khoirun min ‘amalihi (niat orang mukmin lebih baik dari pada amalnya), tetapi dhomir hu di situ kembali kepada orang Yahudi tersebut.
Hadist ini kadang disalah pahami, bahwa hanya dengan niat saja, orang mukmin telah memperoleh kebaikan. Padahal yang dimaksud tidak demikian.
Menanggapi hal-hal semacam ini, tugas santri membuka kembali kitab-kitab hadist untuk mencari kebenarannya. “Santri harus kritis, jangan mengikuti arus media atau umum. Buka kitab dan belajar lagi,“ pesan Gus Irwan kepada santri. “Kalau gak bisa, ya cari suami yang bisa baca kitab,“ canda Gus Irwan yang disambut tawa riuh santri.