Dalam sejarah Walisongo, ada dua mahzab dalam proses penyebaran Islam. Para Walisongo ini bermusyawarah di sebuah mushala di wilayah Drajat, Lamongan. Dua mahzab tersebut adalah dua cara yang digunakan dalam menyebarkan dan mendakwakan Islam. Pertama adalah dengan cara struktural, yakni melalui kerajaan. Maka didirikannya kerajaan Giri kedaton dengan rajanya Sunan Giri dan kerajaan Demak dengan raja pertamanya Raden Patah.
Kedua, adalah cara kultural. Cara ini diprakarsai oleh Sunan Bonang dengan tembang-tembangnya, kemudian dilanjutkan oleh Sunan Kalijaga dengan wayangnya. Setelah masa Walisongo pada abad ke-15, pada abad ke-16 dan
17 keilmuan Islam di nusantara didominasi oleh ulama-ulama asal Sumatera dan Kalimantan. Kemudian pada abad ke-18 dan 19, keilmuan ini kembali ke Jawa.
Ulama-ulama ini mengembangkan dan melanjutkan Islam Aswaja. Tokoh-tokoh pada abad ini adalah Kiai Nawawi, Kiai Rifai, Kiai Sholeh Darat, dan Kiai Kholil Bangkalan. Ulama-ulama ini memiliki banyak murid yang tersebar. Salah satunya Kiai Sholeh Darat yang memiliki 5 murid hebat; Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, R.A. Kartini tokoh emansipasi wanita, KH. Dalhar pendiri pesantren Muntilan, dan KH. Munawwir pendiri pesantren Krapyak.
Pesantren memiliki sanad keilmuan yang menyambung hingga Rasulullah. Oleh karena itu banyak pihak ingin menandingi pesantren dengan cara mendirikan hal sejenis, dengan begitu orang akan mengira itu pesantren tetapi bila melihat pemahaman keislamannya tidak sama sebagaimana pesantren pada umumnya. Australia dijajah oleh Inggris, hilang suku aslinya (Aborigin), Filipina dijajah Spanyol, Islamnya hanya tersisah sekian persen tetapi Indonesia dijajah Portugis hingga Jepang selama ratusan tahun, tetapi tidak sedikitpun Islam hilang dari nusantara. “Oleh karena itu untuk menghancurkan Indonesia, maka hancurkan pesantren. Maka serangan terbesar diarahkan kepada pesantren dan NU,” terang Pak Ikhsan sebelum menutup diskusi pada malam itu.