Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu. Namun, ada beberapa kerajaan di Bali yang pertama kali memeluk agama Islam. Melalui putrinya, kerajaan itu memeluk agama Islam.
Gusti Ayu Made Rai merupakan putri kesayangan raja Pemecutan, Denpasar, Bali. Ia seorang putri yang cantik. Kecantikannya sangat terkenal di berbagai wilayah kerajaan Bali. Tak sedikit para pangeran kerajaan lain yang ingin mempersunting dirinya.
Namun, pada saat remaja, ia jatuh sakit. Menurut beberapa narasumber, ia terkena penyakit kuning (liver). Bertahun-tahun lamanya penyakit itu bersarang di dalam tubuhnya. Berkali-kali pula sang ayah meminta bantuan para balian (dukun). Akan tetapi, penyakitnya tak juga sembuh.
Kemudian, sang raja mendapat pawisik (bisikan dari Sang Kuasa) untuk mengadakan sebuah sayembara. Pengumuman tentang sayembara itu telah tersebar hingga luar pulau Bali. Isi titah raja dalam sayembara tersebut adalah “Pertama, barangsiapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki jika memang jodohnya akan dinikahkan”.
Sayembara tersebut sampai pada ulama Yogyakarta. Beliau memiliki ilmu kebatinan yang tinggi dan memiliki murid kesayangan dari Bangkalan, Madura. Adapun muridnya bernama Pangeran Cakraningrat IV yang beragama Islam. Ulama tersebut memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang menghadap padanya di Yogyakarta. Kemudian, beliau memerintahkan pangeran untuk pergi ke Bali bersama 40 prajurit.
Baca juga
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
- Puncak Harlah Komplek Q Ke-35
- Bersama Lora Ismael Al-Kholilie: Santri Masa Kini Masih Kurang Literasi, Jangan Ya Dek Ya!
- Ngalap Berkah: Sambung Silaturahmi Komplek Q Yogyakarta dan PTYQ Menawan Kudus
Sampai di Pemecutan, pangeran mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu mengobati anaknya, Gusti Ayu Made Rai. Menurut juru kunci makam, Gusti Ayu, “Pada saat pertama kali bertemu, pangeran Cakraningrat IV sudah jatuh cinta dengan Gusti Ayu.” Ternyata pangeran Cakraningrat IV berhasil mengobati Gusti Ayu. Sesuai perjanjian pada sayembara ini, raja Pemecutan menikahkan keduanya.
Beberapa saat setelah menikah, pangeran meminta izin untuk membawa putri ke Bangkalan, Madura. Kemudian raja mengizinkannya. Sesampainya di Madura, keduanya mengadakan upacara pernikahan secara islami. Gusti Ayu Made Rai memeluk Islam pertama kali dalam sejarah Kerajaan Bali. Setelah memeluk Islam, namanya diubah menjadi Siti Khotijah. Ia pun rajin menunaikan ibadah, seperti salat.
Suatu waktu, Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya untuk pulang ke Bali. Setelah diizinkan, ia dikawal oleh 40 prajurit dan dayang. Pangeran juga membekalinya dengan guci, keris, dan pusaka yang diselipkan di rambut Siti Khotijah. Sesampainya di Bali, Siti Khotijah disambut baik oleh keluarganya.
Saat Maghrib tiba, ia menunaikan salat di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Siti Khotijah mengenakan mukena putih dan salat menghadap ke Barat. Saat itu juga, Patih kerajaan melihatnya tengah menunaikan ibadah agama Islam. Patih kerajaan menganggap hal itu sebagai pengeluaran mantra ilmu hitam, atau di Bali terkenal dengan sebutan leak.
Patih kerajaan segera melaporkan hal ini kepada raja. Mendengar hal itu, raja marah dan memerintahkan Patih kerajaan untuk membunuhnya.
Patih membawa Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Siti Khotijah mempunyai firasat bahwa ia akan dibunuh. Kemudian, Siti Khotijah berwasiat kepada Patih kerajaan, “Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu (benang tiga warna: putih, hitam, dan merah),”
“Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat”. Benar saja, begitu cucuk konde itu ditancapkan pada dadanya, seketika tubuhnya mengeluarkan bau harum. Kejadian ini langsung dilaporkan pada raja membuatnya menyesal.
Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dikebumikan, tumbuhlah sebatang pohon setinggi 50 cm di tengah makam beliau. Dicabuti sampai tiga kali pohon itu tumbuh kembali. Hingga kini, pohon itu menjulang tinggi. Pohon itu diberi nama Pohon Rambut atau Taru Rambut. Makam Siti Khotijah selalu ramai peziarah, apalagi pada saat menjelang bulan Ramadan.
Oleh: Mutiara Nurul Azkia
Sumber:
Pictured by bali.tribunnews.com