Refleksi Hari Kartini dan Budaya Cat Calling

Diposting pada

Perempuan, jangan lah mau jika kamu hanya dipandang manusia yang lemah! Bersikaplah layaknya Ibu Kartini yang berjiwa pejuang dengan penuh semangat kemerdekaan. Usia bukanlah sebuah patokan menjadi pemberani. Perempuan harus memiliki keberanian untuk mengutarakan sebuah pendapat.

Yogyakarta adalah kota yang tak pernah tidur, sahutku dalam hati. Memang benar bahwa Jogja adalah kota pelajar yang banyak dihuni oleh pencari ilmu, bukan hanya kota pelajar, kota ini cukup terkenal untuk dijadikan sebuah tempat wisata. Dalam hati, siapa sih yang tak kenal dengan kota ini? Namun ada satu hal yang sangat menyedihkan jika hal ini akan dibiasakan dan menjadi sebuah budaya.

Cat calling bukanlah seekor kucing melainkan sebuah bentuk dari pelecehan seksual. Catcallin g adalah salah satu kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di sekitar kita, yang mana fenomena ini sering terjadi kepada perempuan atau perempuan lah yang sering menjadi objek bahkan korban. Perilaku ini sebenarnya banyak merugikan perempuan tapi sedikit dari mereka yang berani melawannya. Bayangkan, jika kamu berjalan di sebuah keramaian yang mana keramaian itu didominasi oleh laki-laki dan mereka mulai memanggil-manggil kamu atau mungkin meneriaki kamu, misalnya, panggilan cewek, siulan atau lain sebagaianya. Panggilan cewek yang diucapkan oleh mereka dengan nada menggoda itu sudah bisa dikategorikan dengan kekerasan seksual, karena telah membuat suatu sikap ketidaknyamanan pada perempuan. Contoh lainnya seperti siulan yang diberi tambahan dengan panggilan  suitsuit, cewek mau kemana nih ? Mau ditemani tidak?  Jika kita cermati perilaku ini sering terjadi di sekitar kita dan anehnya tidak sedikit yang menanggapinya bukan melawannya. Jika semakin kita menanggapinya maka semakin terbukalah peluang untuk menggoda. Dari situlah muncul benih-benih kekerasan seksual.

Teriakan, rayuan, panggilan, siulan atau bahkan panggilan yang meminta untuk menengok dan melihat ke arah mereka, atau meminta tersenyum, bahkan saat kamu sedang berjalan di depan mereka dan tiba-tiba mereka yang sedang duduk bergerombol tertawa lepas menertawakanmu, kemudian ketika kamu menoleh ke arahnya mereka langsung terdiam dan lain sebagainya. Apakah hal-hal tersebut tidak asing? Sepertinya hampir setiap perempuan pernah mengalaminya, dan inilah yang disebut dengan cat calling. Perilaku seperti ini sering terjadi dan dilakukan di tempat publik.

Dewasa ini fenomena- fenomena tersebut kerap kali kita jumpai. Lalu, sikap seperti apa yang layak kita lakukan khususnya untuk perempuan yang sering menjadi objek dari cat calling. Menurut penulis sikap yang harus dilakukan oleh korban adalah lawan jika merasa tidak nyaman, jangan hanya diam. Katakan dengan tegas kepada pelaku bahwa kamu merasa tidak nyaman dan jangan menjadi lemah. Karena jika semakin kamu melayaninya dan merasa senang saat digoda meski itu hanya sebuah keisengan berarti kamu telah membuka peluang untuk tindakan kekerasan seksual. Sekali lagi stop untuk menganggap bahwa cat calling adalah sebuah kewajaran.

Konstruk yang sering dilanggengkan masyarakat adalah pandangan tentang perempuan  makhluk yang lemah, jika dalam otak perempuan sendiri mengiyakan pandangan tersebut lalu kapan perempuan akan menjadi pemberani?

Sudah saatnya melawan pandangan-pandangan yang menyudutkan perempuan. Sudah saatnya perempuan berani menggunakan hak-haknya untuk merasa aman dan sudah saatnya perempuan berani berbicara kebenaran.

Lalu untuk menjadi perempuan pemberani dalam Islam harus seperti apa?  Tentulah kita menjaga segala adab dan sopan santun. Perempuan tak harus menjadi seorang yang sangatlah kuat hingga melupakan siapakah dirinya, tetapi perempuan sejati adalah perempuan yang pemberani dan tak melupakan muruahnya. Menjadi seorang yang berilmu tak lebih mulia dari mereka yang menjaga adab dan sopan santunnya.

Oleh: Ainul Firda

(Santri penyuka thai tea dan mie ayam Boyolali)