Indonesia merdeka di tahun 1945, dengan mengibarkan bendera kebangsaan Merah Putih dan mengikrarkan proklamasi, yang dibacakan dengan lantang dan penuh keyakinan oleh presiden pertama bangsa ini, Ir. Soekarno. Mengabarkan kepada dunia, bahwa bangsa ini tidak lagi menjadi budak bangsa lain dan siap menyongsong masa depan dengan penuh cinta dan perdamaian. Kunci dari keberhasilan ini tentu tidak luput dari perjuangan para pahlawan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan Slogan “Bhineka Tunggal Ika”, bangsa ini bersatu menciptakan kekuatan yang mampu mengalahkan beribu-ribu penjajahan dan penindasan dari Jepang dan Belanda.
Hanya bermodalkan dengan senjata seadanya, yang dapat ditemukan disetiap pelosok desa, Indonesia mampu mengusir penjajah.“Bambu Runcing itulah senjata kita”, demikian slogan kedua yang mampu menciptakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Namun, dibalik kebahagiaan yang saat ini kita rasakan dan kita nikmati tanpa harus membayar dan memberikan imbalan, tahukah Anda bahwa dibalik itu semua terdapat peran besar para tokoh ulama dengan keyakinan Jihad Fii Sabilillah yang begitu ikhlas dan tulus?
Generasi muda kita, adalah generasi yang hanya tinggal menikmati indahnya bumi pertiwi. Segala fasilitas dan kenyamanan telah kita dapatkan tanpa harus merengek dan berjuang dengan keras. Itulah sebabnya, mengapa kita tidak lagi punya semangat untuk menjaga warisan para Ulama’ dan para pejuang bangsa. Padahal, jika kita mau melihat lebih dalam, maka kemerdekaan yang telah mereka upayakan, sungguh belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kemerdekaan hanya berlaku bagi segelintir masyarakat yang punya kedudukan, harta melimpah, dan kehormatan. Bagi mereka masyarakat biasa, penjajahan dan penindasan masih berlaku hingga saat ini. Oleh karena itu, pentingnya kita membaca dan memahami kisah para tokoh pahlawan bangsa, guna mewujudkan spirit perjuangan generasi muda dalam menjaga persatuan Indonesia.
Adalah KH. Subchi, salah seorang ulama yang ikut berjuang dalam masa penjajahan Indonesia. Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang sangat tawadhu’ dikalangan masyarakat Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Sosok ulama yang satu ini sangat dihormati masyarakat sekitar dan dikenal dengan “kiai bambu runcing”. Beliau lahir di Parakan Kauman, Temanggung pada tahun 1850. Ayahnya, KH. Harun Rasyid adalah seorang penghulu masjid di desanya. Sejak kecil Kiai Subchi telah dididik oleh ayahnya dalam disiplin keagamaan yang tinggi. Selain itu beliau juga sempat nyantri di Pondok Pesantren Sumolangu, Kebumen, Jawa Tengah, di bawah asuhan Syekh Abdurrahman (ayahanda Kiai Mahfudh Somalangu).
Kebersihan jiwa dan ketulusan hati Kiai Subchi, dianugerahi karamah oleh Allah berupa kepekaan terhadap mata batinnya, sehingga ditahun 1941, dia mengumpulkan para santri dan pemuda desa untuk mengadakan persiapan perang. Padahal ketika itu situasi masih relatif aman. Jepang belum masuk ke tanah Jawa. Kebahagiaan dan kehangatan masyarakat masih dapat dinikmati setiap harinya. Namun, kiai Subchi telah mendapatkan firasat, bahwa tidak lama lagi kedamaian ini akan terusik oleh tangan-tangan rakus manusia. Sehingga, beliau pun membuat suatu pertemuan yang dihadiri oleh Kiai Noer (Putera Kiai Subchi) dan lurah Masúd (Adik Kiai Subchi). Dalam pertemuan tersebut dibentuk sebuah pasukan yang diberi namaHizbullah-Sabilillah, dengan pemimpinnya Kiai Subchi sendiri.
Namun, dalam pembentukan Pasukan baru tersebut,kiai Subchi mendapatkan beberapa kendala, pasalnya mereka masih sangat minim dalam hal persenjataan. Kondisi keuangan yang sulit tidak memungkinkan mereka memiliki peralatan perang yang memadai. Adapun yang tersedia saat itu hanyalah beberapa pedang, golok, klewang, keris, tombak dan sebagainya. Sebab itu, Kiai Noer mengusulkan agar pasukan yang baru dibentuk ini dipersenjatai dengan cucukan (Bambu yang diruncingkan ujungnya). Dengan alasan bahwa bambu mudah diperoleh di mana-mana dan juga mudah membuatnya. Selain itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah, sehingga sukar untuk diobati.
Usul ini pada akhirnya diterima secara mufakat. Hanya saja, menurut Kiai Subchi masih ada kendala, yakni bagaimana membuat rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan bersenjatakan cucukan, mereka bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan. Maka dengan penuh keyakinan, Kiai Subchi pun mengumpulkan pasukan dengan bersenjatakan cucukan ini, lalu kemudian memanjatkan doá agar Allah Subhanahu WaTaála memberikan kekuatan istimewa kepada pasukan cucukan ini. Doá itu berbunyi : “Laa Tudrikhuhul Absar Wahuwa Tudhrikuhul Absar Wahuwa Latiful Kabir,” dengan tiga kali membaca sembari menahan nafas. Disebabkan oleh karisma yang dimiliki Kiai Subchi, para pemuda dengan senjata cucukan ini pun akhirnya bersemangat dan yakin jika senjata baru ini memiliki keistimewaan yang dahsyat. Hal ini akhirnya menjadi satu “ritual” yang tidak dilewatkan, setiap ada pasukan baru dengan senjata cucukan, mereka pasti mendatangi Kiai Subchi untuk meminta doánya.
Setahun setelah terbentuknya pasukan Hizbullah-Sabilillah, Jepang pun datang danterjadilah perang besar antara Belanda melawan Jepang. Pasukan Jepang pernah ingin menguasai Parakan, namun dihadang oleh Pasukan cucukan Kiai Subchi. Dan akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya ke Parakan dan meneruskan geraknya ke Wonosobo. Kabar keberhasilan pasukan cucukan Kiai Subchi menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah bibir pasukan lainnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Magelang masih diduduki Jepang. Pasukan Hizbullah dari daerah Parakan dan daerah Kedu bersatu untuk mengusir Jepang dari Magelang. Dalam pertempuran tersebut Jepang terlihat sangat ketakutan menghadapi pasukan cucukan yang di pimpin oleh Kiai Subchi. Sehingga Hal ini pun memberikan dampak terhadap pamor senjata cucukan atau Bambu Runcing, yang akhirnya semakin terkenal ke masyarakat luas.
Sejak itulah, seiring dengan semakin terkenalnya pasukan cucukan, maka sosok Kiai Subchi pun menjadi terkenal. Apalagi pasukannya juga berhasil memukul mundur pasukan Gurkha dari Magelang hingga ke Semarang. Para pejuang kemerdekaan pun berduyun-duyun datang ke Parakan, lengkap dengan bambu runcingnya, untuk menemui Kiai Subchi dan meminta doá nya. Para pejuang itu datang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api yang penuh sesak dengan bambu runcing. Sejak saat itu bambu runcing telah menjadi senjata Jihad Fii Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Bambu Runcing yang dipakai Kiai Subchi sendiri menjadi legenda. Bahkan di minta oleh Museum ABRI untuk dijadikan koleksi bersejarahnya. Putera Kiai Subchi, Kiai Haji Noer mengatakan, “Nama semula bukan bambu runcing, tapi cucukan.” Perjuangan kiai Subchi pada akirnya membekas dalam kenangan indah masyarakat parakan dan masyarakat jawa pada umumnya. Bahkan hingga saat ini, perjuangan beliau telah diabadikan dengan adanya monumen bambu runcing yang terletak di jantung kota Surabaya, di tengah ramainya lalu lintas jalan Panglima Sudirman.
Adapun ulama’ lainnya seperti syeikh Abdus Shamad al-Falimbani Al-Jawi, beliau juga seorang tokoh perjuangan yang berasal dari palembang. Syeikh Abdus adalah seorang ulama’ besar yang tidak hanya terkenal di kawasan Nusantara tetapi juga di kenal hingga kawasan Timur Tengah. Beliau dilahirkan pada tahun 116 H. Kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tercatat dalam buku-buku sejarah. Karyanya yang berjudul Nasihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabillah Wa Karamah al-Mujahidin, menjadi salah satu bukti bahwa beliau sangat perduli terhadap keadaan bangsa ini. Dalam karyanya tersebut, pada bab terakhir syeikh Abdus Shamad al-Falimbani secara khusus memberikan do’a yang diijazahkan kepada para Mujahidin agar mereka mendapatkan kekebalan dan kekuatan yang tidak mudah terkalahkan.
Dengan kitab tersebut, syeikh Abdus Shamad berhasil memompa semangat juang para mujahidin melawan pasukan Belanda dalam perang Sabil di Aceh seratus tahun kemudian. Selain itu, syeikh Abdus Shamad juga beberapa kali mengirim surat kepada raja-raja nusantara, khususnya Jawa untuk melaksanakan jihad melawan Belanda, dengan menggunakan nama samaran Ibnu Abdurrahman. Salah satu surat tersebut ditujukan kepada Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono ! (pendiri Kesultanan Yogyakarta), 22 Mei 1772, yang berisi seruan untuk melaksanakan jihad melawan kekejaman Belanda tanpa adanya ketakutan. Surat serupa juga disampaikan kepada Susuhunan Pakubuwono (Surakarta) dan Pangeran Mangkunegoro I (Mangkunegaran), untuk bersama-sama turut serta memperjuangkan kemerdekaan. Karena semangatnya yang begitu besar dalam menghembuskan gelora jihad fisabilillah, sehingga peneliti Belanda pun secara ekstrem menyatakan bahwa syeikh Abdus Shamad adalah seorang ulama’ spesialis jihad.(Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, 2009)
Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani seorang ulama’ besar, ahli tasawuf, fikih dan Ushuluddin sekaligus mursyid tarekat Sammaniyah dan Khalwatiyah, seorang penulis kitab kuning yang sangat produktif, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu. Namun, meski demikian, beliau tidak pernah bersikap acuh terhadap bangsanya yang lemah, terhadap masyarakat yang membutuhkan pertolongan, sehingga dengan sekuat daya dan upayanya beliau menjadi seorang mujahid yang mampu meniupkan semangat jihad kepada seluruh kaum muslimin di nusantara untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Walaupun sebenarnya, beliau hidup dan tinggal di Mekkah hingga akhir hayatnya 1203 H (1788-1789 M), tetapi beliau tetap menempatkan hatinya sebagai ulama al-Jawi’ yang merasa mempunyai tanggugjawab dan perhatian besar terhadap perkembangan Islam dan Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selanjutnya KH. Ahmad Rifa’i, beliau juga merupakan salah satu ulama’ yang diberi kehormatan sebagai pahlawan Nasional yang telah berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Desa tempuran yang terletak di sebelah selatan Masjid Besar Kendal pada tahun 1786. Ayahnya bernama Muhammad Marhum sedangkan ibunya bernama Siti Rohmah. Dilihat dari silsilah keluarganya KH. Ahmad Rifa’i berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan sangat taat terhadap ajaran agama Islam. kakeknya adalah seorang penghulu yang dikenal dengan RKH. Abu Sujak alias Sutjowidjojo. Sedangakan kakeknya yang bernama KH. Asy’ari adalah seorang ulama terkenal di wilayah Kaliwungu. Sejak berusia 6 tahun Rifa’i kecil telah menjadi seorang yatim, ayahnya meninggal, disaat ia sebenarnya sangat membutuhkan figur seorang ayah sebagai contoh untuk membentuk karakter dalam dirinya, sehingga ia pun akhirnya diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya, KH. Asy’ari. Dalam asuhan kakeknya tersebut Rifa’i mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam yang lazim diajarkan pada dunia pesantren, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqh, Badi’, Bayn, ilmu Hadith dan ilmu Al-Qur’an.
Di usia mudanya, Rifa’i telah menunjukkan ketekunannya dalam belajar dan ketaatannya terhadap ajaran Islam. Hal itu sangat terlihat dalam kesehariannya yang selalu dihabiskan untuk berdzikir, shalat berjama’ah dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan hingga usianya beranjak dewasa ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat peka terhadap keadaan sosial kemasyarakatan, dimana saat itu kondisi masyarakat sangat memprihatinkan akibat ulah dari aksi-aksi kedzaliman kaum kolonialis Belanda. Namun sayangnya, sosoknya sebagai seorang reformis pada abad ke-19, tidak banyak dikenal oleh generasi saat ini. Bahkan Generasi saat ini tak lagi banyak yang membaca buku-buku sejarah dan perjuangan beliau dalam memperjuangkan keutuhan bangsa Indonesia. Hal ini juga terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, dimana sejarah mereka sebagai pejuang bangsa, hanya menjadi legenda yang semakin terkikis oleh berkembagnya zaman. Pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan adanya krisis tokoh dalam segi semangat dan keteladanannya dalam menjaga kesatuan NKRI
Berbicara mengenai perjuangan KH. Ahmad Rifa’i tidak akan lepas dari kondisi makro dan mikro abad ke-19. Dalam konteks pemikiran dan gerakan Islam secara makro, abad ke-19 memiliki arti penting terutama jika dilihat dari perubahan yang terjadi di berbagai kawasan Islam khususnya di Indonesia (daerah pulau Jawa). Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 karajaan-kerajaan di pulau jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta menghadapi berbagai masalah, meskipun kedua kerajaan tersebut sebenarnya lebih merdeka dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain akibat tekanan dari orang-orang Eropa. Namun pada akhirnya, kerajaan Yogyakarta pun mengalami krisis akibat adanya konflik-konflik internal dan ancaman orang-orang eropa yang muncul kembali secara tiba-tiba. Hal tersebut kemudian mengakibatkan hancurnya kemerdekaan Jawa secara total dalam kurun waktu kurang dari empat puluh tahun sesudah wafatnya Hamengkubuwana I dan dimulainya babak baru dalam sejarah penjajahan yang sebenarnya di pulau Jawa.
Berbicara mengenai tokoh para pejuang bangsa, tentu kita pun akan mengoreksejarah kelam masa lalu. Namun, hal itu bukanlah menjadi suatu luka yang dapat menyulut kembali api permusuhan, karena keberhasilan mereka dalam merebut kemerdekaan bukan sesuatu yang pantas untuk dilupakan. Kalau bukan karena perjuangan mereka, tentu saat ini kita masih berada dalam kungkungan penderitaan. Lantas sebagai generasi muda apa yang bisa kita lakukan untuk membalas semua pengorbanan dan perjuangan yang telah mereka upayakan?
Tentunya, sebagai manusia yang menghormati adanya norma dan aturan kita masih memiliki rasa malu, jika hanya bertopang tangan dan membusungkan dada tanpa adanya partisipasi nyata yang dapat kita lakukan. Oleh karena itu, merenung dan memikirkan kembali keadaan bangsa ini, mungkin dapat menjadi salah satu cara untuk membalas semua jasa pahlawan bangsa dan menumbuhkan kembali kesadaran kita akan hal yang semestinya kita lakukan setelah perjalanan panjang merebut kemerdekaan.
Perdamaian, persatuan, ketenangan dan hidup saling menghargai, apakah sudah sepenuhnya tercipta dalam tatanan masyarakat kita?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, cobalah sedikit kita luangkan waktu dan buang sifat egois kita, untuk sejenak saja melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat. Konflik antar budaya, agama, ras dan suku apakah masih terus menerus terjadi, hingga usia 72 tahun kemerdekaan bangsa ini?. Jika anda menjawab tidak, tentu perjuangan para pahlawan kita telah usai, dan kita hanya tinggal menikmati hasilnya dengan senyum tanpa dosa. Tetapi, jika setiap hari anda masih melihat, baik dari media sosial atau pun secara nyata dalam hadapan anda, berbagai kerusuhan dan permusuhan karena perbedaan tadi, maka sekali lagi renungkan dan pikirkanlah apa yang mestinya kita lakukan!.
Menciptapkan persatuan tanpa adanya bumbu-bumbu pertentangan memang bukan suatu hal yang mudah, tetapi hal tersebut juga tidak mustahil untuk diciptakan. Hal itu dibuktikan dengan segenap perjuangan yang telah dilakukan oleh ketiga tokoh pejuang bangsa yang telah penulis jelaskan di atas. Oleh karena itu, para generasi bangsa ini sudah selayaknya bersungguh-sungguh mewujudkannya persatuan tersebut menjadi sebuah realitas yang hidup dalam masyarakat. Dan untuk melakukannya diperlukan sebuah mental yang sangat kuat dalam diri setiap generasi muda. Katakanlah para santri dan akademisi bangsa ini, yang kelak 10 hingga dua puluh tahun kedepan akan memberikan pengharapan dan perubahan bagi bangsa ini. Namun, jika kaum santri dan akademisi yang menjadi salah satu contoh generasi muda masih tetap enggan dan mengabaikan berbagai problematika yang dapat menghancurkan persatuan bangsa, maka tidak membutuhkan waktu lama lagi “Bhineka Tunggal Ika” akan terpecah belah menjadi puing-puing yang tidak ada harganya.
Dengan demikian, mempelajari bagaimana para pejuang kita mempertahankan kemerdekaan dan menciptakan perdamaian, dapat menjadi salah satu cara untuk melatih kepekaan kita terhadap berbagai problematika yang sedang terjadi dan menumbuhkan kekritisan untuk mencari solusinya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
oleh: Listriyah