Pionir Pondok Pesantren Putri

Sang Pionir Pondok Pesantren Putri di Indonesia

Diposting pada

Tahun keemasan bangkitnya masyarakat Muslim di Nusantara terjadi pada era 1910-an hingga 1920-an. Di antara tanda kebangkitan masyarakat Muslim itu adalah bangkitnya kalangan Muslim pesantren yang pada tahun 1919 M ditandai dengan diterimanya santri putri di lingkungan Pesantren Mambaul Ma’arif (nama resmi dari Pesantren Denanyar Jombang). 

Beliau adalah Nyai Nur Khadijah, lahir di Jombang pada tahun 1889. Beliau tumbuh besar di lingkungan pesantren dan merupakan putri KH. Hasbullah dari Pesantren Tambakberas. Pada tahun 1912, beliau pergi ke Makkah bersama ibundanya untuk menunaikan ibadah haji. Di Makkah inilah beliau bertemu KH. Bisri Syansuri, karena dijodohkan kakaknya, KH. Wahab Hasbullah. Kemudian keduanya melangsungkan pernikahan dan menetap di Makkah lebih lama untuk menuntut ilmu. Di Makkah, Nyai Khadijah belajar mengaji kepada seorang syekh di Arab. 

Pada tahun 1917, di usia 28, beliau bersama KH. Bisri Syansuri mendirikan Pesantren Mambaul Ma’arif, yang mana hanya butuh waktu dua tahun untuk menerima santri putri sebagai bagian dari pesantren. Pesantren ini kemudian menjadi pesantren pertama di Pulau Jawa yang membuka kelas untuk perempuan, bahkan ada yang menyebut pertama kali di Indonesia.

Kelas untuk perempuan pada waktu itu merupakan hal yang masih dianggap aneh, meski sudah ada sekolah untuk perempuan yang bermunculan di kota-kota besar di Hindia Belanda. Dimulai dengan Sakola Istri di Bandung (1904) yang didirikan oleh Dewi Sartika, Sekolah Kartini di Semarang (1912), dan Diniyah Putri di Padang Panjang (1923). Pada dekade 1920-1930 merupakan periode para perempuan di Hindia Belanda mulai mengecap literasi, meski masih amat terbatas dikalangan urban dan elite. 

Di Pulau Jawa, Pesantren Mambaul Ma’arif lah yang menjadi pelopor pendidikan perempuan di pesantren yang berupaya menjangkau lebih banyak perempuan dan tidak terbatas pada kelas elite. Mengutip dari islami.co bahwa pada awalnya hanya dibuka empat kelas untuk perempuan, namun sambutan dari masyarakat tidak terlalu antusias. Malah sempat ada kritikan karena pendidikan perempuan dianggap tidak lazim. Seiring berjalannya waktu, di bawah pengelolaan Nyai Khodijah, kelas perempuan ini mampu bertahan dan jumlah muridnya semakin bertambah. 

Nyai Khadijah terus mengelola Pesantren Mambaul Ma’arif bersama KH. Bisri Syansuri hingga beliau wafat pada tahun 1980 di Jombang pada usia 91 tahun. 

Oleh : Siti Shofia L.A dan Khimayatus S.

Sumber :

Tirto.id

alif.id

jombang.nu.or.id

Photo by OPOP Jatim