Titik Temu

Titik Temu

Diposting pada 81 views

Titik Temu ~ Matahari masih sangat terik, namun jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.10. Bayangan pagar hidup dengan bunga sepatu merah yang mulai layu disiram mentari sepanjang hari mulai condong ke timur. Pycnonotus aurigaster atau kutilang masih sibuk mencari tambahan makanan untuk jamuan makan malam ini yang akan diisi oleh 4 ekor lagi, sebuah keluarga bahagia. Anak-anak mereka mungkin mulai kebingungan induk mereka belum kembali ke sarang.

Langkah kaki pelan mulai menapak di jalan itu. Terdengar lemah. Namun berbalik dengan langkah kecil itu, dia sangat bahagia hari ini. Seolah mendapat hadiah paling besar di galaksi Bimasakti. Senyum tak lepas dari wajahnya yang sebenarnya sore ini mulai kusut setelah seharian bekerja. 

Jika diingat lagi, dia turun dari tunggangan yang membawanya dari kampus sampai tujuannya saat ini. Tempat di ujung gang ini. Tempat yang sudah sangat familiar baginya 3 tahun belakangan ini. Tempat yang menyimpan banyak hal yang sebenarnya tampak indah. Detik waktu tak pernah sepi dari gumaman ayat Qur’an dan jari yang tak lelah menghitung dzikir pada kekasih yang didamba suanya. Tak lupa senyum dan gelak tawa anak-anak yang dengan santainya makan mie goreng 30 menit lalu dengan sedikit bumbu cerita tadi pagi ia terlambat masuk kelas karena sepatunya tiba-tiba menginjak anak kucing.

Baca Juga:  Tangis Tak Berwujud

Ah, tampaknya dua sisi tetap ada di mana pun, tak terkecuali padanya. Hidup di tengah hiruk pikuk tak membuat dirinya juga ikut dalam ramai. Ia terjebak dalam sepi, menanti sesuatu yang sebenarnya dekat. Menanti untuk dihampiri lagi, seperti dulu. Bercanda dalam diam, berdua saja. Menceritakan dua orang yang berebut kursi plastik di warung es doger. Lebih sering lagi, menemani tangisan panjang malam. Dia mulai usang. Padahal ia sangat dekat dengannya. Bahkan setiap pagi dan malam ia masih dalam genggaman, tapi tak ada kata. Bisu. 

Tapi, hari ini, penantian itu usai. Rindu terbalas tuntas, digantikan senyum haru. Hari ini, akhirnya ia dengar lagi tangis lirih itu lagi, ia bercerita lagi. Sungguh ia tak bisa berhenti tersenyum, karena akhirnya ia jadi sesuatu yang ia cari ketika dia sedang ingin bercerita. Akhirnya hari ini ia bercerita lagi.

“Hai kawan, maaf ya, sudah sangat lama aku tidak membagi ceritaku padamu.Jika kamu tahu bahwa aku malah berusaha melupakanmu, apa kamu akan marah kawan?Tapi, tetap saja, akhirnya aku tetap di sini. Aneh, ya? Sejujurnya egokulah yang membuat kita jauh saat ini. Aku yang berpura-pura kuat sendirian. Aku yang terbiasa bercerita padamu, malah berusaha melepaskan satu-satunya temanku. Aku terlanjur terpengaruh pada beberapa perkataan seseorang. Katanya, hanya seorang yang lemah saja yang tak punya teman, yang zaman ini masih bercerita pada sebuah diary. Kau tau apa yang kupikirkan saat itu? Aku tidak mau dianggap lemah, kawan. Aku tidak mau mengakui bahwa sebenarnya aku lemah. Lalu aku mencoba untuk mencari seseorang untuk kuajak bicara seperti aku bercerita padamu. Tapi, tidak ada yang bisa sama sepertimu, kawan. Aku sulit sekali bercerita dengan orang lain. Aku selalu takut mereka tak mampu mendengarkan ocehanku yang kadang terdengar sedikit berat. Dan akhirnya kawan, aku sadar bahwa aku selemah itu. Ah, aku selalu banyak menangis jika bercerita padamu. Maaf, ya. Dan karena aku sadar ternyata aku tak bisa tidak denganmu, aku memilih kembali. Maafkan aku, kawan. Aku berharap kamu mau memaafkanku.”

3 Januari 2020

Sina~

Siapa yang bilang itu, kawan. Katakan. Aku akan mencubit lengannya nanti. Tidak kawan. Kamu tidak lemah. Kamu adalah orang yang sangat kuat yang pernah aku kenal. Kamu berusaha menjadi dirimu sendiri, tidak menjadi orang lain. Ketika bebanmu mulai berat, kamu memilih untuk mencari hal yang dapat membantumu meringankan bebanmu, mencari seseorang untuk dimintai pertolongan seperlunya jika kau rasa tak mampu sendiri, dan ketika kau terlalu sulit mengerti sesuatu tentang apa yang terjadi, merasa butuh bercerita untuk membagi lelahmu, kau datang padaku. Mengajakku bercengkrama dengan tawa maupun tangis sendumu. Mengertilah, kawan. Itu bukan berarti kamu lemah. Kamu memang bukan seseorang yang dengan mudah bercerita banyak hal dengan orang lain. Jika kamu tidak mau, tidak nyaman, kau tak perlu memaksakan diri. Setahuku, kamu sudah begitu merasa cukup memiliki teman meskipun tak sebanyak yang orang itu punya, dan lagi, kamu masih punya aku.

Oleh : Annisa U.

Photo by J W on Unsplash