Tanggal 31 Januari merupakan hari yang istimewa bagi masyarakat Islam Indonesia, karena hari tersebut merupakan hari lahirnya organisasi Islam terbesar nusantara. Lahirnya organisasi NU terbilang unik karena diperingati dua kali, yakni 16 Rajab (dalam kalender hijriyah) dan 31 Januari (dalam kalender masehi). Maka dari itu, umur organisasi NU juga berbeda, dalam kalender hijriyah, NU telah berusia 98 tahun, sedangkan dalam kalender masehi usia NU masih berumur 95 tahun.
Berdirinya NU tidak terlepas dari dua tokoh ulama besar, yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Tepat 95 tahun silam, dua kiyai tersebut menggandeng para Kiai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura di Surabaya untuk menyepakati kesepakatan yang akarnya telah ada jauh sebelum diadakan kesepakatan tersebut yang akhirnya menjadi dasar berdirinya organisasi NU. Cikal bakal berdirinya NU telah dibuktikan dengan didirikannya organisasi pergerakan Nadlatul Waton (kebangkitan tanah air) pada tahun 1916, Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) pada tahun 1918, dan Taswirul Afkar (kawah candradimuka pemikiran) pada tahun 1914.
Pada awal tahun 1920, keadaan Indonesia masih sangat miris, keberadaan penjajah Belanda di Indonesia membuat ruang gerak rakyat Indonesia menjadi sempit karena segala aspek sumber daya dikuasai oleh Belanda. Dalam aspek pendidikan, yang dapat merasakan pendidikan hanya orang-orang yang berasal dari kalangan priyayi yang dirancang untuk menjadi ambtenaar (pegawai negeri sipil) Belanda. Hal tersebut menyebabkan banyak rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan. Dari keadaan tersebut, para kiai serta kalangan muslim tradisional yang terdidik merasa terdorong untuk mendirikan pesantren, tempat untuk menuntut ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Adanya pesantren telah memberikan pencerahan bagi rakyat Indonesia saat itu dan menambah jumlah pemeluk agama Islam. Indonesia yang dikenal memiliki beragam budaya tidak menjadi penghambat bagi para kiai dalam berdakwah, para kiyai berupaya untuk tidak menghilangkan jati diri bangsa dengan melakukan asimilasi tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam, sehingga rakyat tidak merasa kehilangan tradisinya ketika mempraktekkan ajaran Islam.
Di sisi lain, ada sekelompok orang yang bersikeras mendorong pemurnian Islam dan tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kelompok tersebut dikenal sebagai kaum puritan. Tekanan yang dilakukan oleh kaum puritan terhadap para kiyai yang mengatasnamakan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis membuat para kiai tidak nyaman. Aksi kaum puritan yang membuat para kiai lebih tertekan ialah ingin menghilangkan situs peninggalan Nabi yang dianggap dapat menyeret pada kemusyrikan serta aksi dari Ibnu Saud yang hendak menerapkan asas tunggal Wahabi dan menghapus mazhab-mazhab lain di Mekah dan Madinah.
Berangkat dari polemik tersebut, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari beserta para kiai yang diundang di Surabaya sepakat membentuk Komite Hijaz yang hendak mengirim utusan keberatan kepada Raja Abdul Aziz (Saudi Arabia) dan melahirkan kesepakatan yang intinya menuntut Ibnu Saud memberikan kebebasan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz, meminta agar situs peninggalan nabi tidak dibongkar dan memohon agar biaya yang dibebankan kepada jemaah haji diumumkan ke publik internasional. Untuk mengirim utusan kepada Raja Abdul Aziz, para kiyai sepakat membentuk organisasi yang dapat mewadahi komunitas tersebut, maka disepakatilah organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M. Utusan yang akan dikirim ke Arab Saudi ialah KH. Wahab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghonail al-Mishri yang akhirnya berangkat pada 5 Syawal 1346/ 7 Mei 1928.
Kehadiran NU telah membuktikan bahwa organisasi Islam Indonesia tidak hanya kritis terhadap permasalahan lokal, namun juga memperhatikan permasalahan yang terjadi di dunia Internasional. Toleransi, keadilan, serta proporsional yang dijadikan prinsip dalam berorganisasi menjadikan NU diterima oleh masyarakat Indonesia. Sikap keterbukaan NU terhadap sesama, mengutamakan perdamaian, serta mengedepankan persatuan NKRI membuat organisasi ini tetap eksis, selalu berkembang dan senantiasa selalu berkontribusi terhadap kemajuan bangsa Indonesia hingga saat ini.
Sang Guru berpesan:
“Siapa yang berjuang untuk NU maka kuakui dia sebagai Santriku. Barang siapa yang telah menjadi santriku maka kudoakan akhir hidupnya husnul khotimah beserta keluarganya”
Beliau adalah Sang Maha Guru NU Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Semua pasti bangga, semua pasti bersyukur dalam do’anya. Oleh karena itu, sebagai ungkapan rasa syukur mari kita bersama-sama hargai karya besarnya. Marilah membuka mata lalu membaca, membaca nasihat-nasihatnya, yang dapat menguatkan ruhani kita agar senantiasa tetap pada haluan ahlu sunnah wal jamaah annahdiyyah hingga hari menutup mata.
Oleh: Syarifah Rufaida
Sumber: