Seminar Literasi Digital merupakan salah satu rangkaian acara Harlah ke-34 Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q yang berkolaborasi dengan Divisi Media dan Publikasi Komplek Q. Dengan mengangkat tema Bermedia Ala Santri: Tetap Eksis Mengaji dan Santun Dalam Literasi. Dan tentunya menghadirkan seorang narasumber yang merupakan penulis novel, yakni Ning Khilma Anis Wahidah.
Ning Khilma Anis Wahidah dulunya merupakan seorang santri yang akhirnya menjadi penulis novel. Diantara karya-karya beliau yakni novel Hati Suhita (yang sudah divisualkan menjadi film), novel Wigati, buku Ngaji Fiksi, Teknik Menulis Bersama Komunitas Matapena, Antalogi Sahabat Kedua Bersama Muallimat Kudus, novel Jadilah Purnamaku Ning, dan Lintang Manik Woro serta beberapa karya lainnya.
Dengan berbagai karya yang telah diciptakan tersebut, tak lain Ning Khilma Anis mengamalkan dawuh dari Sunan Kudus (Syeikh Ja’far Shodiq) yaitu GusJiGang (Bagus, Ngaji lan Dagang). Menciptakan sebuah karya berarti Ning Khilma bersikap bagus dan tak luput dari ngaji (belajar) untuk karya yang akan diciptakan, yang kemudian dagang dengan menjual karyanya hingga sangat bermanfaat untuk banyak orang. “Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus seribu kepala”, kata beliau.
Menjadi seorang penulis, tentunya Ning Khilma Anis melewati proses-proses yang tak mudah. Tak lain, dalam berproses beliau memiliki inspirasi yang dapat membawa kepada kesuksesan. Salah satu inspirasi terbesar Ning Khilma adalah abahnya. Sering sekali abah beliau memberi nasihat-nasihat, motivasi dan inspirasi untuk sang anak.
“Nek dadi santri ojo mek mondok, ojo mek ngaji, harus kreatif. Kreatif kui bentuk e macem-macem, bisa menulis dan lain-lain.” (Kalau jadi santri jangan hanya mondok, jangan hanya ngaji, harus kreatif. Kreatif itu bentuknya macam-macam, bisa menulis dan lain-lain), tutur abah Ning Khilma Anis.
Menjadi santri itu harus kreatif, yakni memaksimalkan potensi dalam diri. Tetapi, menjadi santri yang kreatif itu ternyata tidak cukup. Selain menjadi santri yang kreatif, juga dibutuhkan santri yang inovatif yakni berani mencoba hal-hal yang baru. Namun tak hanya kreatif dan inovatif, perlu adanya santri yang adaptif yakni pandai menyesuaikan diri atau beradaptasi. Dan santri yang kolaboratif yakni mau bekerja sama. Sehingga menjadi santri yang komplit dengan kreatif, inovatif, adaptif, dan kolaboratif.
Santun Dalam Literasi
Dalam seminar juga membahas tentang santun dalam literasi, Ning Khilma Anis menjelaskan santun itu seperti apa, terutamanya santun ketika bermedia dan literasi. Diantaranya:
- Jangan membuat konten yang menyakiti
- Jangan mengabaikan keterampilan atau jurnalistik
- Tidak boleh iri dengan wadah, wayah, dan jatah.
Yang pertama adalah wadah atau tempat. Apabila kita ingin mendapat rezeki, yakni dari wadah. Zaman sekarang sebuah wadahnya harus besar agar dapat menampung. Dan salah satu yang membuat wadah itu besar adalah mal. Mal bukan hanya tentang materi, tetapi juga bisa berupa potensi, value, kemampuan, komunikasi, dan lain-lain. Yang kedua adalah wayah atau waktu. Kita tidak boleh iri dengan dengan waktunya atau masa kejayaannya orang lain.
Dan yang ketiga adalah jatah. Tidak boleh iri dengan jatah orang lain. Baik waktu maupun jatah, setiap individu memiliki porsi yang berbeda-beda dan memang sudah seperti itu dari Allah. Maka sebagai makhluk ciptaan Allah yang telah diberi nikmat tersebut sepatutnya untuk bersyukur.
Sikap dan Syarat di Era Digital
Berbicara mengenai literasi, khususnya seminar kali ini tentang literasi digital dimana merupakan sarana bermedia. Maka Ning Khilma Anis juga menyampaikan pembahasan tentang syarat berdakwah di era digital, diantaranya:
- Teken yaitu cita-cita atau bahasa pesantrennya adalah himmah. Sebagai seorang santri, kita harus punya himmah untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Seperti sumur sinobo yaitu santri mempunyai kedalaman ilmu yang sangat bening karena ilmu itu terus digali. Karena santri menjadi tempat bertanya untuk ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya.
- Tekun atau dalam bahasa pesantren adalah istiqomah. Selalu konsisten terhadap apapun yang dilakukan dan tetap teguh pendirian.
- Tekan dalam bahasa pesantrennya adalah hasil maqsud. “Hasil maqsud, yakni sing sopo wonge nduwe istiqomah, himmah, teken tekun, bakal khasil.” Karena barangsiapa yang memiliki personal branding dengan tekan-tekun nya maka ia akan memiliki tujuan.
Selain itu juga Ning Khilma Anis juga mengemukakan, terdapat 4 syarat seorang santri hadir dalam era digital, khususnya untuk dakwah, diantaranya:
- Seneng (senang). Seseorang kalau seneng itu pasti langgeng.
- Kenceng yakni teguh pendirian, tekad dan semangatnya tidak mudah goyah. Karenanya, integritas (potensi dan kemampuan) itu tergantung pada pribadi masing-masing.
- Kepareng yakni mendapatkan izin dari orang tua, atau mendapat izin dari kyai dan nyai apabila di pondok pesantren.
- Wilujeng yakni selamat yang dalam konteks pesantren adalah tirakat. Tak lupa dengan tawasul di setiap akan belajar, dan dalam keadaan yang sudah memiliki wudhu. Karena hal tersebut merupakan bantuan dari keberkahan.
Kunci Sukses di Dunia
Ning Khilma Anis juga menjelaskan 3 syarat sukses di dunia, yaitu:
- Aset Diri (value). Kemampuan diri, nilai diri. Kalau dalam Bahasa Jawa adalah wadah. Di era sekarang ini wadah tidak bisa disembunyikan, karena jejak digital sangat kuat.
- Aset Kapital (modal), kalau punya modal yang kuat, peluang untuk menjadi sukses akan lebih besar. Namun tidak semua orang punya aset modal yang kuat.
- Aset Jaringan. Santri itu seberuntung-beruntungnya manusia, karena jaringan pesantren itu sangat besar dan aset jaringan itu menjadi salah satu aset kunci sukses, dan peluangnya pun juga besar.
Pesan-Pesan
Keberuntungan itu adalah milik orang-orang yang berani
Ketika Ning Khilma Anis mendapat pesan dan nasihat dari abahnya ataupun tokoh-tokoh ulama, beliau selalu mengamalkannya. Bahkan pesan nasihat tersebut tidak untuk asupan diri sendiri, namum beliau juga bagikan kepada orang lain seperti kepada santriwati komplek Q. Dan itu menjadi motivasi serta inspirasi yang beliau salurkan kepada santri untuk dapat menjadi yang lebih baik.
“Klungsu-klungsu waton wudu, lebih baik menyumbangkan karya walaupun sedikit daripada hanya tenggelam dalam angan-angan”, salah satu motivasi Ning Khilma Anis untuk santri dapat berkarya apapun itu. Seperti beliau yang menyumbangkan karya dengan menulis bahkan menjadi seorang penulis mengatakan bahwa “Sejatinya novel itu adalah wasilah. Dan tujuan satu-satunya menulis adalah keberkahan.”
Selain itu, Ning Khilma Anis juga mengungkapkan pesan dari Semar yakni “ojo mati tanpo aran” (jangan mati tanpa nama/red). Apabila dikaitkan dengan santri pondok pesantren, maka “Jangan boyong sebelum menulis, jangan boyong sebelum memiliki karya, jadilah orang yang baik.”
Penulis: Zia Zahra Hudaya
Foto: Arsip Media Komplek Q