Waktu tak henti mencecar
Dari pendulumnya tak gentar
Menggugah sembab mata Si Tua
Yang baru terlelap pukul dua
Si Tua meramu Wedang ala Jawa
Dari serbuk pahit sahasra peristiwa
Bertutur Ia, “Djaman Uwis Beda”
Entah yang dimaksud apa
Tak lama, Si Tua bercerita
Tentang sisa-sisa ingatnya :
Sudah sampai sini
Abad demi abad ajek berdetik
Meski banyak nadi tak lagi berdetak
Artefak Mesopotamia makin renta
Kuno Piramida retak bebatunya
Lahir era Arkaik, Kota Tua Maya
Abadi dalam catat Guatemala
Sudah sampai sini
Deras urbanisasi tak terpungkiri
Sektor industri diami fase ekspansi
Diferensiasi spesialisasi bijak bestari
Orientasi edukasi tak kurang tiap hari
Tapi mengapa
Gedung tinggi, akal sehat mati?
Persatuan ubah jadi blok kanan-kiri?
Saling benci, hal tak jelas disalah arti
Seakan lupa, gurun tak gersang lagi
Tapi mengapa
Budaya korupsi lama mengakar
Pejabat makar, rakyat bawah lapar
Proyek mangkrak sana sini
Kami jadi gelandang negeri
Tapi mengapa
Tata krama hanya teori belaka
Selayak pengarung samudra
Kehilangan Almanak Nautika
Abad peradaban, nyaris nihil adabnya
Padahal dulunya
Moyang gemar menebar mantra
Menyemai doa pada sesama
Tak bersitega urus biadab egonya
Kinasih meski banyak beda
Si Tua, termangu di ujung derita
Kering kerontang tatap matanya
Di sela seruput wedang, terselip tanya
“Oh ini atau itukah peradaban
yang kan kita wariskan?”
Biarlah menjelma rahasia
Diatas panggung Orkestra Jagat Raya
Penulis: Imam Satria (Juara Terbaik Lomba Kepenulisan Kategori Cipta Puisi “Safari”)
Biodata: Lahir di Purbalingga, 17 April 2003. Menetap di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Suka buku, musik, kopi, game, anime dan lainnya.
Pictured by Kompasiana.com