Siapa yang tak mengenal Gus Dur? Presiden Republik Indonesia keempat yang memimpin dari tahun 1999 hingga tahun 2000 ini terkenal dengan kejeniusan dan kesederhanaannya, begitu juga dengan jokes yang selalu menjadi hiburan sepanjang masa. Namun segala peran Gus Dur tak lepas dari dukungan orang tua, terutama ibu yang juga menjadi bapak baginya. Sepeninggal Bapak Gus Dur yakni KH. Abdul Wahid Hasyim yang meninggal di umur 38 tahun karena kecelakaan mobil, dan saat itu Gus Dur masih sangat muda, 14 tahun usianya.
Ibunda Gus Dur, nama asli beliau adalah Munawwaroh, namun banyak dikenal dengan nama Nyai Hj. Sholichah Wahid yang lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Beliau adalah putri dari KH. Bisri Syansuri, menantu Hadratussyaikh Hasyim Asyari, Istri tercinta KH. Abdul Wahid Hasyim, dan Ibunda dari keenam anak yang diantaranya adalah Abdurrahman Wachida tau Gus Dur dan Sholahuddin Wahid atau Gus Solah.
Namanya seakan tak banyak terdengar oleh kalangan generasi sekarang. Namun jasa-jasa beliau dalam melahirkan tokoh besar perempuan sangat patut untuk dijadikan teladan. Lahir dalam lingkungan keagamaan yang ketat menjadikan beliau sebagai pribadi yang mandiri dan hebat. Sepeninggal suaminya, beliau tinggal di Ibu Kota dengan segala tantangan yang ada, kegigihan dalam membesarkan dan mendidik keenam anaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Selain menerapkan jiwa pesantren, ia juga sangat disiplin dalam mendidik keenam anaknya. Dalam menghidupi mereka, beliau sempat berjualan beras, kue-kue kecil, dan permen hingga barang-barang miliknya dan peninggalan almarhum suaminya untuk menopang perekonomian keluarganya.
Bersuamikan seorang pejuang menjadikan beliau memiliki jiwa pejuang. Tak jarang jika semasa perang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia beliau bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan pada para pejuang. Maka dari itu, tak heran jika pada masa tuanya beliau sangat gesit dalam melakukan berbagai aktivitas.
Tak hanya itu, beliau juga sangat aktif dalam hal berorganisasi terutama dalam membesarkan Muslimat NU bahkan beliau pernah terpilih sebagai anggota DPRD berlanjut keanggota DPR Gotong Royong mewakili NU. Namun, kehidupannya dalam permainan politik hampir tidak tampak, beliau lebih banyak terlihat sebagai seorang muslimat yang memegang teguh komitmen moral keagamaan.
Beliau adalah sosok yang memiliki sifat kemandirian, tegas, dan keras dalam mempertahankan prinsip. Meskipun demikian, beliau tetap menghargai pendapat dan tidak memaksakan kehendak. Sampai menjelang wafat, beliau tetap aktif berkhidmat dalam kegiatan Muslimat dan aktivitas lain di masyarakat, ia tetap terlihat sehat dan penuh semangat, meski harus menggunakan tongkat dan iringan seorang perawat yang melayaninya setiap saat.
Nyai Hj. Sholihah Ahmad Wahid wafat pada hari Jumat, 29 Juli 1994 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada usia 72 tahun yang sebelumnyasempat tak sadarkan diri karena ada pembuluh darah yang pecah, jenazah beliau dimakamkan di komplek pemakaman Tebuireng, Jombang.
Prestasi dan kegigihan beliau sangat patut dijadikan inspirasi bagi gadis-gadis muda sebagai calon ibu dan pemersatu bangsa. Percayalah, kesuksesan beliau bukan semata karena nasabnya, namun karena perjuangan tak kenal lelah, keilkhlasan, dan tekat kuat yang menjadi prinsipnya hidupnya.
oleh: Fitria NF Oct