K.H. A. Warson Munawwir—pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q—merupakan sosok yang membekas dalam hati banyak orang. Dr. KH. M Habib Abdus Syakur, M. Ag. salah satu yang tidak bisa melupakan kenangan bersama Kiai Warson. Pak Habib Syakur—sapaan akrabnya—merupakan salah satu sosok santri ndalem sedari keluarga Kiai Warson masih tinggal di kompleks pusat. Ia tergolong dekat dengan Bapak—sapaan akrab para santri kepada Kiai Warson—dan sudah dianggap layaknya anak sendiri. Bertahun-tahun mengenal dan dekat dengan Bapak, pengasuh PP. Al-Imdad ini punya pandangan tersendiri ketika mengenang sosok yang menjadi pionir dari Kamus Al-Munawwir. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Tim Redaksi Komplek Q, Pak Habib Syakur menuturkan beberapa sifat yang ada dalam pribadi Bapak.
Kebapakan
Sebagai seorang kiai yang memiliki banyak santri, KH. A. Warson merupakan sosok yang kebapakan. Beliau memiliki kepedulian yang amat tinggi terhadap santri-santrinya. Layaknya seorang bapak, beliau senantiasa mendengarkan keluh kesah para santrinya, beliau selalu mencoba untuk turut serta menemukan solusi atas segala yang menjadi permasalahan santri, sehingga santri-santri beliau merasa amat diperhatikan dan dipedulikan.
Dekat dengan Santri
Selain memiliki sikap kebapakan, Kiai Warson juga merupakan sosok yang sangat dekat dengan para santrinya. Keakraban beliau dengan santrinya dapat dilihat dari panggilan santri-santrinya kepada beliau. Beliau—Kiai Warson—lebih akrab dipanggil Bapak oleh para santrinya. Panggilan ini tentu bukan tanpa alasan, beliau hanya tak ingin ada jarak antara kiai dan santri, beliau ingin para santrinya menganggap beliau seperti bapak sendiri sehingga santri-santrinya merasa dekat dengan beliau layaknya dekat dengan orangtua kandungnya.
Kedekatan beliau dengan santrinya ini, seperti yang dituturkan Pak Habib, tak hanya terjadi ketika beliau mengajar. Di luar kegiatan mengajar, para santrinya dianggap sebagai teman sendiri, karena, tak jarang Bapak mengajak mereka untuk berdiskusi serta meminta pendapat mereka dalam berbagai hal.
Sebagai seorang santri ndalem, sosok yang sekarang menjadi dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga ini juga mempunyai kisah sendiri terkait kedekatan Bapak dengannya. Kala itu, ketika Bapak masih tinggal bersama keluarga besarnya di ndalem pusat, tak jarang Pak Habib ditimbali Bapak ke kamarnya untuk sekedar memijat beliau. Saat itu dari beberapa keluarga yang tinggal di ndalem pusat, Bapak merupakan satu-satunya keluarga yang sudah memiliki televisi, dan Pak Habib tak jarang ikut menonton televisi bersama bahkan sampai ketiduran di kamar Bapak. Pak Habib menambahkan bahwa sejak awal Bapak dan keluarga besarnya memang sederhana dan terbuka sehingga orang lain dan santrinya tidak merasa rikuh.
Baca Juga: Pak Hadi dan Kisah Kedekatannya dengan Almarhum Bapak
Sederhana
Meskipun menjadi seorang kiai besar dengan mahakaryanya berupa Kamus Al-Munawwir, sosok Bapak sangatlah sederhana dan tidak neko-neko. Kesederhanaan Bapak ini diimplementasikan dalam banyak hal. Selain dalam penampilan, Bapak juga sederhana dalam hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat. Beliau selalu berusaha untuk tidak menampakkan ke-kiai-annya sehingga tidak terlihat bahwa beliau merupakan seorang yang sangat ‘alim yang ilmunya sangat luas bagai lautan. Karena kesederhanaan beliau ini, banyak yang tidak tahu bahwa beliau pernah menjadi pengurus PBNU. Bahkan, ketika beliau wafat, banyak orang yang hanya tahu karya beliau tanpa tahu tentang sosok yang melahirkan karya monumental tersebut.
Ulet
Berdasarkan sudut pandangnya, dalam wawancara yang dilakukan oleh Tim Redaksi Komplek Q kepada Pak Habib Syakur, beliau menuturkan bahwa Bapak merupakan sosok dengan kedisiplinan yang tinggi dan sangat ulet. Ketika Bapak memiliki suatu keinginan, selama itu baik, beliau akan sangat berupaya untuk dapat mewujudkannya.
Keuletan beliau ini dapat dilihat dari bagaimana beliau membangun pondok pesantren. Kala itu, Bapak bisa dikatakan mengalami kekurangan dalam hal biaya ketika akan membangun pondok. Namun, karena kemauan dan kegigihan Bapak untuk mewujudkan adanya pondok ini, dengan segala perjuangan dan sifat uletnya, maka berdirilah Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q yang berkembang pesat dengan ratusan santrinya hingga saat ini.
Selain itu, keuletan beliau juga tercermin ketika beliau menyelesaikan karya monumentalnya—Kamus Al-Munawwir—yang menjadi sumber rujukan dalam menerjemahkan teks-teks Arab, baik itu dilakukan oleh santri tingkat pemula hingga tingkat atas. Gigihnya perjuangan beliau selama bertahun-tahun menghasilkan mahakarya yang sangat memuaskan. Karya yang akan terus ada dan berguna selama bertahun-tahun ke depan bahkan selamanya.
Pesan Pak Habib Kepada Santri-Santri Bapak
Ketika Pak Habib diminta untuk memberikan pesan kepada santri-santri Bapak, beliau menyampaikan bahwa kita harus bangga menjadi santri Bapak, terlebih bagi para santri yang sudah pernah berjumpa dan ngaos dengan Bapak langsung. Bagi santri yang belum pernah berjumpa dengan Bapak pun harus turut bangga. Hal ini karena, menurut Pak Habib, sangat sulit mencari padanan yang seperti Bapak di dunia ini, baik dalam hal keilmuan maupun sikap-sikap beliau. Bukan hanya dijadikan kebanggaan, tetapi sebagai santri kita juga harus melanjutkan perjuangan Bapak, meneruskan apa saja yang selama ini sudah dilakukan dan diupayakan oleh Bapak. Perjuangan ini bisa diartikan dalam bentuk lain sesuai kapasitasnya masing-masing.
“Orang di dunia itu harus bermanfaat bagi orang lain.”
Pak Habib Syakur
Sumber: Wawancara dengan Pak Habib Syakur
Oleh: Nur Kholifah