Salah satu tema yang diusung dalam Muktamar Pemikiran Santri 2018 adalah Pesantren, Women Ulama, and Social Trasformation : Challenges and Prospects. Diskusi yang dilaksanakan pada Kamis, 11 Oktober 2018 ini dihadiri 3 dari 4 narasumber yang sudah ditetapkan. Acara ini berlangsung di Aula G Pondok Pesantren Krapyak. Ketiga narasumber tersebut adalah Syekh Bilal Al Mahmud Afifi Ghanim dari Al Azhar, Mesir, KH Husein Muhammad dari Fahmina Cirebon, dan Nyai Hindun Anisa dari Krapyak. Sedangkan satu narasumber yang tidak hadir adalah KH Said Aqil Husain al Munawwar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Marzuki Wahid ini, Syekh Bilal memaparkan berbagai faktor melemhnya masyarakat Muslim di mata Barat. Menurut Syekh Bilal ada faktor internal dan eksternal yang menjadikan Islam moderat menjadi Islam yang begitu menakutkan. Beberapa faktor internal tesebut adalah pelaku dari teroris adalah orang-orang Islam sendiri yang mendapatkan perlindungan dari negara-negara non muslim. Kedua, adalah adanya kesalahan dalam memhami ajaran Islam. “ Beberapa kelompok beranggapan bahwa Islam adalah ajaran yang baku dan tidak menerima perubahan zaman dan tempat “, ujar Syekh dari Mesir ini. Untuk menghadapi hal ini, kita dapat menerapkan Islam yang moderat dan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat sehingga tidak perlu melakukan kekerasan terhadap kelompok Islam lainnya.
Tantangan ketiga adalah kerusakan moral. Keempat, adalah munculnya berbagai kelompok dalam Islam. Salah satu akibatnya adalah lahirnya kelompok-kelompok yang gemar mengkafirkan mereka yang berbeda faham dengan kelompoknya. Tantangan lain adalah adanya gerakan permurtadan dan pendangkalan akidah umat Islam. Mereka dijauhkan dari agama dan akidah mereka dijadikan menyimpang. Padahal beberapa negara barat mengakui bahwa Al Qur’an adalah kitab suci yang tidak bertentangan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Syekh Bilal memaparkan faktor-faktor ekternal yang menjadi tantangan umat Islam. Pertama, adalah ketakutan tarhadap peradaban Islam. “ Mereka menciptkan istilah teroris untuk Islam,” ungkap Syekh Al Azhar ini. Padahal Islam adalah agama yang menebar kasih sayang pada siapapun.
Kedua adalah adanya ketakutan peradaban Islam akan menguasai dunia. Bangkitnya Islam akan mengancam eksitensi mereka. Menurut Syekh Bilal, anggapan itu salah. Jika Islam berhasil menjadi peradaban utama di dunia, maka Islam akan melindungi perbedaan meskipun terhadap yang bukan Muslim. Ketiga adalah tantangan globalisasi dan perkembagan ilmu pengetahuan.
Syekh Bilal memaparkan bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan-tantangan tersebut, peran ulama perempuan sangat dibutuhkan. Ummul Mukminin Aisyah, Putri Nabi Muhammad SAW, Fatimah, dan Khomsah adalah sederetan nama perempuan yang berperan pada masa awal perkembangan Islam. Bahkan Aisyah meriwayatkan sekitar 2000 hadist, terbanyak setelah Abu Hurairah. “ Kualitas keilmuan Aisyah jika disandingkan dengan keilmuan seluruh perempuan pada masa itu adalah sama “, Ujar Syekh Bilal. Oleh karena itu kekuatan ulama perempuan sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan tesebut.
Pembicara kedua, K.H. Husain Muhammad atau yang biasa dipanggil Buya Husain ini sudah tidak diragukan lagi bagaimana kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Menurut pendiri Fahmina ini, sudah sejak zaman nabi, perempuan memiliki kapasaitas seperti laki-laki.
Pada tahun 2017, Buya Husain adalah salah satu motor penggerak Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini pertama kali dilaksanakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Cirebon. Menurut Buya Husain, KUPI adalah puncak dari perjuangan ulama dan santri perempuan.
Dalam mengemban tugas sebagai pewaris Nabi, ulama perempuan bersama ulama laki-laki adalah melanjutkan misi-misi profetik, menyebarkan ilmu pengetahuan, membebaskan manusia dari sistem penghambaan selain Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, memanusiakan manusia, dan menyempurkana akhlaq mulia. “ Perempuan adalah manusia dan segalah potensinya, tidak ada yang membedakan laki-laki dan perempuan. Perempuan berhak menjadi apapun yang diinginkan “, ujar kiai asal Cirebon ini.
Salah satu karya fenomenanya adalah penelitian dan pengkajian yang dilakukan terhadap hadist-hadist yang dijadikan dalil dalam kitab Uqudul Ijain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 20 persen adalah hadist dhoif. Padahal kitab ini dijadikan dasar baku di berbagai pondok pesantren. Tak heran ia menuai banyak perdebatan.
Pembicara terakhir adalah Nyai Hindun Anisa. Pengasuh PP Ali Maksum Komplek Hindun Anisa ini juga memaparkan faktor-faktor ulama perempuan tidak muncul ke permukaan. Menurutnya faktor itu juga berasal dari internal pesantren maupun eksternal pesantren.
Dari internal pesantren, contohnya ketika adanya muktamar pondok pesantren, yang berangkat adalah kiai atau laki-laki bukan nyai. Tentunya hal ini menghambat laju kiprah ulama perempuan.
Dalam sejarah pesantren, santri laki-laki lebih dulu merasakan didikan pesantren. Baru pada tahun 1927, pesantren Manbaul Ma’arif Denayar Jombang berdiri. Tokoh dari berdirinya pondok putri ini adalah Nyai Nur Khodijah. Selanjutnya putri pertama K.H. Hasyim Asyari, Nyai Khoiriyah mendirikan pesantren putri di Seblak. Sudah tidak diragukan lagi bagaimana kiprah Nyai Khoiriyah ini. Ulama perempuan ini, juga mendirikan madrasah lil banat di Makkah, negara yang kental dengan budaya patriakinya. Selanjutnya Bung Karno memintahnya untuk kembali ke tanah air. “ Nyai Khoiriyah adalah salah satu anggota syuriah NU, sampai saat ini, saya belum menemukan ulama perempuan di syuriah NU ,” ujar Nyai Hindun.
Sedangkan faktor ekternal adalah adanya beberapa orang yang gemar mengadakan kampanye nikah mudah, lewat seminar misalnya. Tentunya hal itu menarik minat santri untuk nikah mudah.
Diskusi yang berlansung dari pukul 9 pagi ini, menarik banyak peserta untuk bertanya hingga moderator terpaksa menambah waktu diskusi 30 menit lagi. (Fidhoh)