Al-Qur’an merupakan kitab penutup sekaligus menjadi penjelas dari kitab-kitab sebelumnya. Dia menjadi mukjizat bagi Nabi Akhiruzzaman, Nabi Muhammad saw. Sebagai kitab samawi yang terakhir, Allah Swt. berjanji akan menjaga kesakralan dan keotentikan Al-Qur’an hingga hari akhir, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hijr ayat 9, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Al-Qur’an menjadi pedoman utama umat manusia dalam menjalin dan menjalani hubungan, baik dengan sesama manusia atau hubungan dengan Tuhannya. Melalui Al-Qur’an, Allah Swt. membuka pintu-pintu hati yang tertutup, meluaskan pikiran-pikiran yang sempit, serta melepaskan manusia dari kurungan kebodohan. Al-Qur’an pula lah yang mengangkat manusia dari kemusyrikan dan kehinaan menuju jalan hidayah yang diridhai-Nya.
Berbicara mengenai ayat yang menjelaskan keotentikan dan kesakralan Al-Qur’an yang akan terjaga hingga kehidupan ini musnah, memang secara tekstual Al-Qur’an tidak akan pernah berubah. Namun, jika makna terjaga sampai hari akhir ini dipandang dari sudut pandang perkembangan zaman, maka dapat diartikan bahwa Al-Qur’an akan selalu dinamis untuk menjawab-menjawab dan menjadi pegangan atas permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari setiap zamannya. Dengan kata lain, teks Al-Qur’an tidak akan berubah, namun penafsiran terhadap isi Al-Qur’an senantiasa berubah dan dinamis menyesuaikan perkembangan zaman. Perubahan terhadap penafsiran ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an akan selalu ‘membuka diri’ untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasi dengan berbagai metode, alat, ataupun pendekatan untuk menguak maksud aslinya.
Memasuki zaman yang kian modern dan pelik ini, para ulama dan cendekiawan muslim berlomba-lomba untuk menggali dan menafsirkan Al-Qur’an dengan memfokuskan pada konteks kontemporer. Penafsiran al-Qur’an ini dalam upaya pembaharuan atas tafsir-tafsir klasik yang dinilai—di era sekarang—sudah kurang memadai, jumud, out of date atau ketinggalan zaman, terlalu terkungkung dalam kurungan ushul fiqh, serta kurang bisa mengadabi sisi-sisi kemanusiaan. Dengan ‘revisi’ atas tafsir-tafsir klasik ini, para cendekiawan muslim dan ulama modern berharap dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang kian kompleks yang bermunculan di era kontemporer ini.
Perlu diingat dan dipahami dengan sungguh bahwa dalam menafsirkan Al–Qur’an tidak boleh sembarangan karena zaman sekarang jauh berbeda dengan zaman Rasulullah. Ketika Rasulullah masih hidup di dunia, rasanya tak perlu risau ketika mengalami kebingungan dan ketidakpahaman akan makna dari suatu permasalahan dan ayat-ayat dari Al-Qur’an karena permasalahan-permasalahan itu dapat langsung terjawab melalui Rasulullah. Namun, sepeninggal Rasulullah, para sahabat dan generasi penerus membutuhkan effort yang lebih untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baru agar dalam menyelesaikannya tetap dalam garis lurus yang berpangkal pada Al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi seorang ulama mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an, haruslah memenuhi berbagai kualifikasi dan mencapai level tertentu dalam keilmuannya. Salah satu keilmuan yang harus dikuasai oleh mufassir dan calon mufassir adalah memahami dengan baik mengenai kaidah-kaidah tafsir.
Baca Juga: Mengenal Tafsir Berbahasa Aceh dan Keuinikannya
Perlu diketahui dan diperhatikan bahwa tafsir merupakan produk buatan manusia sebagai upaya memahami maksud-maksud Allah Swt. dalam Al-Qur’an. Sebagai buatan manusia, tentunya tafsir mempunyai kekurangan dan tak bisa lepas dari subjektivitas penafsirnya. Subjektivitas ini dipengaruhi oleh berbagai hal, mulai dari latar belakang pendidikan dan keilmuan, kondisi sosio-historis, geo-politik, serta kondisi yang dihadapi pada zamannya. Untuk memperkecil kesalahan-kesalahan dan subjektivitas penafsiran, maka seorang yang hendak menjadi mufassir haruslah mengerti kaidah-kaidah penafsiran. Menurut Quraish Shihab, komponen-komponen dalam kaidah tafsir ada tiga: 1) ketentuan yang harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, 2) sistematika yang dilakukan dalam menafsirkan Al-Qur’an, serta 3) kriteria-kriteria khusus yang menunjang pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Berbicara mengenai kekeliruan dalam proses penafsiran Al-Qur’an, ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Hal pertama ialah subjektivitas mufassir sebagaimana telah diterangkan di atas. Selanjutnya, kekeliruan dalam mengimplementasikan metode, sedikitnya pemahaman terhadap ilmu alat dan pengetahuan tentang substansi Al-Qur’an. Faktor lain ialah abainya mufassir terhadap konteks seperti asbabun nuzul, munasabah ayat, serta kondisi sosio-historis ketika suatu ayat diturunkan. Yang terakhir, tidak memperhatikannya mufassir terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Singkatnya, kaidah-kaidah tafsir sangat diperlukan dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an agar terhindar dari penyimpangan dan kesalahan penafsiran. Dengan minimnya kesalahan dalam proses penafsiran ini, diharapkan tafsir-tafsir yang lahir akan mampu menjawab kebutuhan dari zaman yang sangat dinamis sehingga Al-Qur’an menjadi shahih li kulli zaman wa makan tanpa merusak makna asli dan keotentikan Al-Qur’an.
Oleh: Nur Kholifah