Diakui atau tidak, manusia bukanlah golongan makhluk yang individualis. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Oleh karena itu, sosialisasi antar manusia terjadi secara alami. Dalam Alquran surat Hujurat ayat 13 dijelaskan mengenai konsep ta’aruf. Pada tatanan sederhananya, ta’aruf di sini hanya bermakna kenalan. Sedangkan pada tatanan yang lebih luas, taaruf memiliki makna bagaimana terbentuknya solidaritas yang menguat menjadi sebuah organisasi. Dalam konteks kali ini, organisasi adalah sebuah negara.
Negara tidak bisa eksis bila hanya diisi oleh kelompok individu-individu saja, ia memerlukan sebuah sistem yang merupakan hasil dari kesepakatan bersama. Dalam hukum ketata negaraan, ada teori representasi. Aplikasi dari teori ini berupa sistem partai, sistem teritorial atau wilayah, dan sistem pilihan langsung yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan dalam menentukan pemerintahannya. Oleh karena itu, rakyat harus memilih pemerintahannya. Siapakah yang terbaik di antara calon-calon pemimpin tersebut. Kemudian timbul pertanyaan apakah penentuan pemerintah tersebut harus dengan cara pengangkatan atau penetapan, atau lainnya?
Lebih dari itu, pilihan presiden bukan hanya soal cara penentuannya. Pilihan presiden merupakan bagian dari wa syawirhum fil amri sebagaimana yang disebut dalam surat Ali Imran ayat 159. Dalam penetapannya, tidak mungkin dengan luasnya wilayah dan banyaknya jumlah rakyat Indonesia berkumpul dalam satu forum dan membahas siapa presidennya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem pemilihan. Dalam hal ini presiden menerima legitimate power, kekuatan atau kekuasaan yang diberikan karena legitimasi melalui UU dan kedaulatannya ada pada rakyat. Dengan demikian, posisi presiden kuat karena sudah dipilih melalui kedaulatan rakyat kemudian dilantik dan dikuatkan tugas-tugasnya melalui UU. Apabila tidak demikian maka ia berpotensi mengalami abious of power atau penyimpangan kekuasaan. Adanya penguatan tugas melalui UU berfungsi untuk membatasi kebebasan otoritas atau kekuasaan yang diberikan rakyat kepada pemerintah.
Dalam konsep demokrasi memiliki simmilar meaning dengan wa syawirhum fil amri. Seperti yang dibahas sebelumnya, luasnya wilayah dan banyaknya rakyat tidak memungkinkan menentukan presiden hanya dengan sekali duduk dalam satu forum. Oleh karena itu diperlukannya pemilu untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Pemilu merupakan bentuk dari trias politica Montesquieu; eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Kewajiban untuk Memilih
Dalam UU pemilu tidak dijelaskan adanya sanksi bagi warga negara yang tidak memilih. Seakan-akan memilih hanya sebagai hak saja. Hak berarti mubah, melakukan atau tidak melakukan terserah yang memiliki hak untuk memilih. Namun dalam pandangan kaca mata Islam, terbentuknya suatu negara merupakan hal yang dhoruri atau bersifat penting. Dalam negara harus ada lembaga yang mengatur keberlangsungan sebuah negara, maka konsekuensi logis dari konsep ta’aruf dan masyarakat sejahtera dalam negara adalah adanya pemerintahan yang baik atau good governance. Pemerintahan yang baik dapat dihasilkan dari proses pemilihan oleh rakyat. Beruntungnya masyarakat Indonesia yang hidup pada zaman sekarang, karena mereka bisa langsung memberikan sikap politiknya apabila dibandingkan dengan zaman orde baru.
Pemilu dan Hukum Islam
Selanjutnya, jangan mengikuti beberapa komunitas yang beranggapan bahwa pemilu itu tidak syar’i karena tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam. Hukum-hukum Islam tidak secara formalisasi syar’i diterapkan tetapi terintegrasi secara subtansial. Seperti yang terjadi pada fikih nikah. Salah bentuk integrasi kedua hukum ini adalah adanya akte nikah sebagai bentuk legitimasi pernikahan seseorang. Dalam Islam akte nikah bukan merupakan syarat pernikahan. Undang-undang di Indonesia adalah bagaimana Islam merespon kejadian-kejadian atau peristiwa dalam konteks keindonesiaan atau yang disebut sebagai Islam Nusantara.
Hukum Islam dengan Alquran dan sunnah sebagai konstitusinya seakan-akan mendistorsi sakralitas keduanya. Padahal itu merupakan wahyu yang apabila dijadikan konstitusi makan kedunya menjadi selevel dengan ide manusia. Pancasila merupakan ide-ide manusia yang juga tercermin dari nilai-nilai termasuk Islam. Kemudian, masyarakat Indonesia adalah merupakan masyarakat heterogen. Apabila menentukan satu ajaran sebagai konstitusi maka yang lain akan menuntut hal yang sama. Nabi telah mencotohkan dalam piagam madinah yang lebih suka disebut sebagai negara madani. Karena terdiri dari kabilah-kabilah bangsa dan aturan-aturan Islam secara umum tidak berlaku bagi umat agama lain. Keculai beberapa aturan seperti pajak. Oleh karena itu umat non muslim juga memperoleh perlindungan dari nabi karena telah menunaikan kewajibannya membayar pajak.
Alquran dan sunnah tidak menyebut sistem negara secara qot’i. Oleh karena itu Rosulullah tidak menentukan siapa khalifah yang akan menggantikan beliau kelak. Hal ini dikarenakan agar para sahabat berijtihad dan menentukan sikapnya sendiri. Apa itu negara Islam? Apakah negara dengan konstitusi Islam seutuhnya? Padahal tidak juga. Apakah karena penduduknya yang semua Islam? Tidak juga.
*Hasil wawancara dengan Ustadz Maulidi
(Ustadz di Madrasah Salafiyah III dan Dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)