Seberapa dalam kau memaknai syukur?
Aku memiliki cara berbeda dalam menerjemahkan syukur setelah aku diparingi nikmat yang malang. Setiap hari aku bertanya-tanya, mengapa siklus bulananku tak pernah teratur. Aku tak pernah merasakan sakitnya dilepen seperti teman-teman seasrama kala itu. Yang kutahu, darah haid yang setiap keluar berwarna merah kehitaman, kental, dan menggumpal itu adalah milikku.
Ironisnya aku mengalami siklus bulanan yang terus menerus tanpa henti. Dari haid ke istihadhoh, pun sebaliknya hingga pernah hampir menuju hari ke tujuh puluh lima. Aku pikir, aku mengalami siklus bulanan yang bisa dibilang tak wajar. Namun, salah seorang dokter tak menunjukkan sesuatu hal yang buruk pada monitor layar USG. Ia hanya memberiku 1 strip obat berisi 12 tablet berwarna putih dengan harga yang cukup mahal untuk seusiaku yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah kala itu.
Aku menjalani hari dengan rutinitas seperti biasa. Pagi ke sekolah, pulang menjelang senja datang. Ketika jingga benar-benar telah melebur bersama gelap, dan suara adzan isya mulai menggema di seluruh masjid di berbagai penjuru kota. Saat itulah kegiatan ngaji diniyah dimulai. Dan berakhir ketika mendapatkan tanda tangan Roisah PQ dan Sorogan di buku lusuh masing-masing sebagai tanda bukti rakapitulasi di akhir bulan. Dengan begitu, lunas sudah kewajiban dalam satu hari itu.
***
Suatu malam kudapati rasa asing pada perutku, perih yang sama sekali belum pernah kucicipi sebelumnya. Rasa yang pada akhirnya menyematkan luka di kehidupanku. Ya, inilah aku Candra Kirana. Gadis yang malang di antara gadis-gadis belia seusiaku.
Tiga puluh menit setelah suntikan pereda nyeri menjalar di tubuhku, kepala dokter beridentitas Bagas Jayadi menyembul di antara riuhnya tirai berwarna biru. “Permisi. Saya cek lagi ya?” Dokter sepuh dengan perawakan kekar itu melayangkan seutas senyum dan menekan perutku pada bagian kiri bawah.
“Masih sakit?” tanyanya.
Aku mengangguk dengan muka memelas. Bahasa isyarat yang menandakan bahwa rasa yang tak mampu kujelaskan namun dapat dimengerti olehnya.
“Oke, setelah ini langsung ke Poli Kandungan ya!”. Sorot matanya menyapu wajahku dengan tatapan iba.
“Keluar lewat pintu IGD bagian utara, lalu ke kiri. Nanti ada pertigaan tepat di depan ruang radiologi belok lagi ke kanan”. Imbuhnya.
“Poli kandungan ada di paling ujung”. Ucapnya dengan semangat sambil menyodorkan kursi roda.
Beberapa pasang mata menatapku penuh tanda tanya. Ada pula yang memicingkan mata penuh dengan rasa curiga. Sorot mata mereka tajam, membuatku semakin terluka.
Aku begitu terguncang. Karena kini tibalah giliranku mencicipi hal baru yang tak sedikitpun pernah terbayangkan sebelumnya. Meletakkan kepala di bagian yang lebih tinggi daripada bagian kaki. Kemudian fokus melihat benda yang pernah kulihat saat ibuku dengan bangganya melihat janin adik lelakiku bergerak-gerak di monitor layar USG yang pada kenyataannya sedang menendang-nendang perut ibuku.
“Rileks saja!”. Kata seorang perawat judes yang mengenakan jilbab simple namun terlihat mempesona. “Minggir dulu tangannya”. Ucapnya tanpa melirikku yang mendengus kesal karena telah menurunkan bisban rok dan menyelipkan tisu tebal di antara celana dalamku dan perut bagian ujung bawah.
“Nona Candra ya?” Kata seorang dokter laki-laki paruh baya di samping kananku. Ia menyeringai melihatku kaku karena ketakutan. Membuatku malas untuk sekedar mengiyakan pertanyaannya.
(Klik page 2 untuk baca kelanjutannya)