Aku Adalah Ranting yang Patah Kala Usai Senja

Diposting pada

Sejurus kemudian, ultrasonic gel USG mendarat di perut. Disusul dengan transducer. Yaitu komponen USG yang ditempelkan pada bagian perut untuk diperiksa. Di dalam transducer ini terdapat kristal yang digunakan untuk menangkap gelombang yang disalurkan oleh transducer tersebut hingga menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh komputer. Sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar yang biasa kita sebut sebagai USG.

“Coba lihat layar”. Aku menengok tepat di samping layar USG yang memang diatur sedemikian rupa agar pasien leluasa untuk mengamati pertumbuhan buah hatinya. Tapi tidak dengan kisahku.

“Benjolan ini namanya kista, ukurannya sudah 5,7 centimeter”. Sambil menatapku datar.

“Ini sudah harus diambil. Karena batas maksimal dioprasi 5 cetimeter. Umurmu berapa?” imbuhnya.

“Tujuh belas tahun” Ucapku lirih.

“Salah satu solusi terbaik yaitu kamu menikah. Untuk saat ini saya tidak berani mengambil tindakan. Karena kamu belum menikah”. Ucapnya terdengar memilukan membuat hatiku semakin berdenyar.

Kepalaku hendak pecah dihujani ribuan sembilu. Air mata berhamburan tak terkendali. Telapak kakiku dingin. Suhu badanku mendadak tinggi. Aku lemas, menggigil bersama harapanku yang telah hancur. Porak-poranda habis dilibas kenyataan. Semua tak tersisa. Kecuali kepedihan. Bahwa kini, seesuatu yang aneh telah tumbuh di tubuhku. Di samping rahimku.

“Jangan menangis nak”. Dokter paruh baya tersebut mulai menyadari isakanku. Suara renyahnya memecah keheningan. Sorot matanya berubah, ada rasa belas kasihan di ujung gerbang retinanya. Mungkin ia mampu membaca lukaku dari sudut pandangnya sendiri.

Aku menunduk, membalas dengan satu kali anggukan, dibumbui seutas senyum yang berat penuh kepura-puraan.

***

Lebih dari dua belas purnama aku berusaha menggapai gelora dalam hidup untuk memantik kebahagiaan. Pulang pergi ke tempat yang berbeda. Sliweran kesana-kemari mencari tombo untuk menyembuhkan sakitku.

Belum sepenuhnya tuntas kugenggam bahagiaku, kini untuk kesekian kalinya hidupku kembali disemrawutkan oleh keadaan. Ya, aku dihujam nyeri tak berkesudahan.

Hingga suatu senja menjelang malam, seseorang memelintir jantungku dengan kata-katanya yang stabil hingga akhir. “Kamu tinggal menunggu bom waktu. Antara menikah dulu, atau tutup usia”.

Aku pulang dengan dada gemuruh. Bersama air mata yang terurai di sepanjang jalan gelap dan mencekam. Bersama dengan sebongkah harapan sembuh yang lebih dari dua belas purnama ini kuupayakan dengan sungguh.

Sekelebat bayang senyum kedua orang tuaku, ribuan kata-kata empati dari teman dan sanak saudara yang tak pernah tau kenyataan jejak medisku, menyapa di antara sepoi angin turut mengibarkan bendera kepedihan. Melihatku bersimpuh membakar seluruh hasil USG cek up dengan mata berembun. Membuang semua obat berdosis tinggi. Merintih meratapi garis hidup yang hingga detik ini tak kunjung mampu kumaklumi.

Dan aku adalah ranting yang patah kala usai senja.

Oleh: K.K.