Ingatanku jatuh pada satu jam lalu saat aku singgah sejenak di pesantren tempatku dulu pernah belajar mengaji dan menimba ilmu keagamaan. Aku tersenyum dan kutampakkan deretan gigi rapi yang sedari tadi hanya diam. Hanya ada suara hembusan napas yang keluar. Bagaimana bisa shalawat yang sedari tadi terus mengisi ruang hati dan pikiranku tiba-tiba harus tergantikan oleh pikiran yang bagiku masih tabu seperti ini. Tidak! Tidak mungkin! Ini salah, sangatlah salah! Aku tidak mau! Astaghfirullahhal ‘adzim.. gumamku kemudian.
“Assalamualaikum.. tok tok, Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam… Masyaallah, ini Mbak Nuri to? Monggo masuk mbak, ayo ke dalam.. Ibuk beberapa hari ini selalu kepikiran sampean lho..” itu adalah suara dari Ning Sima. Ning Sima merupakan putri terakhir dari Abah Kyai serta Ibu Nyai dari pesantrenku yang dahulu sempat kutinggali.
“Oh inggih Ning, ngapunten mengganggu wedale (waktunya)”
“Alah mboten kok, sekedap nggih mbak tak panggilin Ibuk rumiyen, (sebentar ya mbak tak panggilin ibuk dahulu)” dan aku hanya dapat mengangguk sambil tersenyum. Betapa bahagia hati ini dapat menginjakkan kaki lagi di sini dan dijamu dengan begitu baiknya.. masyaallah, semoga kebahagiaan dan keselamatan selalu teriring untuk Abah dan Ibu sekeluarga, amiin. Batinku yang tidak hentinya selalu mengucap doa untuk keluarga ndalem pesantren.
“Mbak Nuri sudah lama tho? Alhamdulillah.. sampean masih purun (mau) datang ke sini. Sehat Mbak Nuri?” sekitar sepuluh menit, akhirnya Ibuk datang dan bersalaman denganku. Beliau nampak semakin cantik meski kerutan dan getaran suaranya tak dapat membohongi usia yang ada dalam diri beliau. Semua masih nampak sama, setelah lima tahun lalu aku meninggalkan pesantren ini. Yang berubah, hanya cara berjalan Ibuk yang harus sedikit berdoyong-doyong karena mungkin kaki beliau yang dulu ku tahu pernah mengalami luka akibat kecelakaan.
“Alhamdulillah Ibuk, berkat doa dan pangestunipun dari panjenengan. Ibuk dan Abah nggih sehat?”
“Sehat seperti yang sampean lihat Mbak, tambah sehat soale sampeanpurun datang lagi ke pesantren.” Ahh Ibuk, selalu dari dahulu dapat membuat hati ini semakin dirundung rasa senang dan bahagia. Tapi ada sedikit rasa penyesalan pada diriku, aku yang memang dari lima tahun yang lalu belum pernah sama sekali datang lagi ke pesantren ini. Mengapa? Aku hanya mencoba untuk menepati nazarku yang dulu sempat ku ucapkan. Tiba-tiba aku merasa bersalah pada keluarga ndalem ini.
Obrolan kami berlangsung cukup lama, sekitar setengah jam kami berbicara mengenai keadaan pesantren yang sempat mengalami pasang naik dan turun. Aku mencoba mendengarkan dengan baik dan sesekali menanggapi ucapan beliau. Bermula dari kegiatan di pesantren yang semakin bertambah, seperti diadakannya pencak silat untuk santri putra dan gilir memasak oleh santri putri. Lalu menuju ke arah pengajian kitab yang ditambah pada setiap malam ahad agar santri tidak serta merta menggunakan malam ahad untuk sekadar hal-hal yang kurang berguna. Semakin meluas pembicaraan Ibuk dan aku sampai pada Abah datang dan memberiku pertanyaan yang aku pun sampai sekarang belum memikirkannya.
“loh, Mbak Nuri kok wis (sudah) pulang? Wis diboyong apa piye?”
“Hemm, hehe.. inggih Abah, soalnya di rumah mau ada acara selamatan buat ayah.. jadi kula (saya) pulang. Pondok juga masih libur bah..” gugup, kaget dan malu sekali rasanya. Bagaimana Abah dengan spontan bertanya seperti itu? Apakah wajahku sudah menandakan bahwa memang sudah pantas untuk bersuami?
“Woalah begitu.. la sudah matang kenapa enggak segera? Ngajine sudah khatam kan? La opo tak carikan?” degg. Apa ini? Kenapa seperti ini? Aku tidak bisa berkata-kata, semua kata-kata dan jawaban yang sudah ku persiapkan sejak di perjalanan menuju pesantren hilang.
Kalau Abah sudah berbicara seperti itu, berarti memang aku tidak dapat berbohong lagi. Usiaku dan kebutuhanku akan terus menantiku. Kamu tidak dapat mengelak Nuri! Sudah menjadi bahan omongan tetangga pula, kasihan ibumu yang selalu mencari alibi mengapa putri sulungnya tidak segera memperlihatkan calonnya tersebut. Lumrah memang, hidup di desa terpencil dan memiliki banyak tetangga yang pada dasarnya seorang perempuan yang sudah berusia 25 itu layak untuk sudah menikah bahkan memiliki anak. Itu sudah menjadi tradisi di desaku. Aku hanya mampu menunduk dan diam kala Abah berbicara begitu.
“Yasudah Bah, mungkin Mbak Nuri masih ada sesuatu yang mau diselesaikan. Ya kita ndak bisa memaksa.. padahal kemarin Sabtu ada yang nanyain Mbak Nuri lo” Ibuk yang kemudian menimpali Abah. Aku kaget, siapa yang bertanya tentangku itu? Tanpa sempat aku menjawab Abah sudah berbicara dahulu.
“Ya buk, makanya aku bilang begini. Ini tadi aku pulang dari masjid barengan. Tapi tak suruh ngambil motor dulu di bengkel Pak Huri.”
“Assalamualaikum.. Bah..” Suara itu, aku pernah mendengarnya.. sedari tadi aku hanya dapat diam dan menunduk, sampai pada suara seorang laki-laki mengalihkan pandangan Abah dan Ibuk. Saat suara itu semakin terdengar mendekat disertai derapan langkah dan suara sendal yang dilepas. Aku semakin gugup.
“Waaaikumsalam, eh Kang Rasyid. Wis kunci motore kamu taruh di atas lemari dekat tv itu! Kalo sudah, ke sini.. ini ada Nuri.”
Ya Allah.. bagaimana bisa ternyata itu adalah Kang Rasyid. Aku takut dan rasanya ingin sekali menangis. Apakah takdir seolah-olah ingin menjawab tentang doaku dan usahaku selama ini? Seseorang yang dahulu begitu mengagumkan di mata para santri putri termasuk aku dan sudah lima tahun ini aku berusaha untuk menghilangkan perasaan kagumku. Meski aku sudah meninggalkan pesantrenku ini, tapi mengapa rasanya aku tetap belum bisa menghilangkan rasa ini. Kang Rasyid hadir kembali seperti gemuruh di musim kemarau, bahwa suara gemuruh itu pertanda akan datangnya musim hujan setelah kemarau panjang ini. Kang Rasyid mampu membuatku takut, namun di dalam hati terdalamku ada perasaan senang bahwa aku bisa berjumpa lagi dengannya.
Namun, aku tetaplah seorang santri putri yang hanya mampu menunduk dan bersabar. Adab dan tata krama yang telah diajarkan oleh Abah, Ibuk dan juga para ustaz-ustazahku selama ini harus senantiasa kuterapkan. Aku tidak boleh merasa kepedean dan berbangga diri. Bisa saja jika Kang Rasyid bertanya tentangku bukan karena dia memiki perasaan kepadaku. Aku hanya seorang santri putri yang jika sudah berbicara mengenai pasangan akan menunduk dan diam. Bukan berarti aku tidak mau berusaha, namun apa yang bisa diperbuat oleh seorang perempuan jika belum ada kepastian. Begitulah rasanya aku selama ini. Sudah ada beberapa yang bertanya tentangku selama setahun terakhir ini melalui teman-temanku di Pesantren, namun aku hanya diam. Aku tidak mau merasa kepedean dengan itu, dan aku juga tidak akan yakin jika seseorang itu belum datang langsung ke rumahku bertemu ibuku.
Lamunanku berhenti ketika motorku memasuki kawasan kecil yang dahulu sempat menjadi saksi perjuanganku mengajar anak-anak mengaji. Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Kang Rasyid di musala ini. Saat itu, dia dengan telaten mengajar Mas Kafka, salah seorang anak laki-laki yang sukanya lari-lari ketika doa sedang dimulai. Aku melihatnya pertama kali dan aku tersenyum untuk itu. Saat itu aku bersama temanku, Umi ditugaskan Abah untuk mengajar di sini. Aku sempat curi-curi pandang pada Kang Rasyid kala itu.
Aku mengambil air wudu terlebih dahulu sebelum salat ashar di mushala ini. Begitu segar dan sejuk air wudu yang menyentuh permukaan kulitku. Aku mengucapkan syukur dan melakukan sujud syukur di atas sajadah ini. Semua nikmat yang telah diberikan oleh-Nya sampai aku dapat mendudukkan diriku kembali di musala ini, wajib aku syukuri. Beberapa jam yang lalu aku berpamitan dengan Abah dan Ibuk, aku merasa bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan hal ini. Aku hanya tersenyum saat tadi kang Rasyid menyapaku dan bertanya tentang keadaanku di depan Abah dan Ibuk. Setelah itu, Kang Rasyid harus pergi karena salah satu santri putra ada yang memangilnya. Dan selepas itu, aku sudah tidak ingin memikirkan hal hal lain lagi tentang Kang Rasyid. Mungkin memang sampai sini saja aku bercerita tentang Kang Rasyid.
“Mbak Nuri .. alhamdulillah ternyata sampean masih di sini. Saya tadi mampir ke ndalem lagi, tapi sampean sudah pulang kata Abah dan Ibuk.”
Aku tidak tahu bagaimana bisa suara itu kemudian muncul kembali. Baru saja aku berdoa dan membulatkan tekad untuk tidak memikirkan laki-laki itu, dan saat mukenaku berhasil ku lipat dengan rapi, laki-laki itu tiba-tiba muncul berdiri di sampingku dengan mengusap sedikit air yang ada di pelipis wajahnya. Aku tidak tahu itu air apa, apakah air wudu atau keringat? Yang jelas suaranya seperti berusaha ditahan untuk tetap tenang dan biasa meski napasnya tidak bisa biasa. Aku hanya menunduk dan sesekali meliriknya. Kami tidak berdua, karena di sini juga ada beberapa masyarakat yang ikut berjamaah ashar di musala. Kang Rasyid mengajakku duduk di tangga dan aku pun mengiyakan. Kami berbicara banyak dan entah mengapa aku tersenyum haru mendengarnya bercerita tentangku dan tentangnya. Dan satu kenyataan yang belum ku ketahui tentangnya, bahwa Kang Rasyid ternyata juga menaruh perasaannya kepadaku dari delapan tahun yang lalu.
Allahumma yaa muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘ala diinik.. (Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu) begitulah selama ini para ulama mengajarkan kita untuk senantiasa membaca doa tersebut guna menjaga hati. Lantaran hati manusia yang sering mengalami kebimbangan dan berujung pada sebuah kemaksiatan. Perasaan lembut seorang perempuan dan ketakutannya akan kemadharatan dari lawan jenis, membuatnya hanya bisa menyimpan perasaan sukanya selama hampir delapan tahun. Selama itu yang ia perbuat hanya berdoa dan berdoa agar diberi yang terbaik oleh Tuhan-Nya. Dan bagaimana orang itu berusaha dengan sangat gigih disertai kesabaran yang tinggi, Tuhan akan memberikan hadiah yang setara dengan itu meski kita tidak tahu kapan doa itu akan dikabulkan oleh Nya. Bisa saja lima menit kemudian, sehari kemudian, setahun kemudian atau bahkan delapan tehun kemudian. Wallahu a’lam bii shawab.
–
Oleh: Akromulladzi
–
Foto: freepik.com