“GITU AJA KOK REPOT!”
Sebagian dari kita pasti mengetahui siapa pencetus jargon legendaris ini, terutama dari kalangan para santri. Ya. Beliau adalah K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa dengan “Gus Dur”, sosok kyai dan politikus terkenal asal Jombang, Jawa Timur. Sosok yang familiar dengan celetukan-celetukannya yang kritis dan ceplas-ceplos ini merupakan putra pertama dari enam bersaudara anak pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholehah.
Dikutip dari situs nu.or.id, Gus Yusuf putra K.H. Chudhori Magelang menyampaikan opininya bahwa Gus Dur adalah sosok inspiratif utama sebagai role model bagi kalangan santri. Beliau dengan jujur menyatakan bahwa sebelum Gus Dur muncul banyak pihak yang menyepelekan santri dan pesantren. Namun, di saat Gus Dur tampil sebagai pejuang kerakyatan, publik baru tertarik untuk mempelajari kehidupan pesantren.
Semasa hidupnya, Gus Dur juga diketahui sebagai cendikiawan yang tidak hanya pintar secara intelektual, tapi juga sangat menghargai perbedaan, terutama masalah suku, ras, dan agama. Bahkan, beliau mendapatkan predikat sebagai Bapak Pluralisme Indonesia karena keberaniannya membela hak-hak kaum minoritas yang tertindas.
Karena sikap heroiknya itulah, maka tak mengherankan bila meski telah wafat selama sebelas tahun lalu, hingga sekarang pesona Gus Dur seolah tidak pernah pudar. Mungkin sedikit tulisan ini mampu memberikan gambaran alasan mengapa kalangan santri milenial wajib menjadikan beliau sebagai sosok inspiratif utama.
- Gus Dur dikenal sebagai salah satu cendekiawan Islam yang memiliki pengetahuan luas. Sejak kecil beliau gemar membaca buku dari berbagai aliran, mulai dari buku filsafat Plato hingga Karl Marx.
Kecerdasan dan kepintaran Gus Dur adalah salah satu ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari diri pria berkacamata ini. Selain karena pendidikannya, kepintaran Gus Dur juga didukung oleh kegemarannya membaca buku sehingga gelar kutu buku akut pantas disandangnya. Semasa kecil Gus Dur belajar ilmu agama dari kakeknya, K.H. Hasyim Asy’ari sehingga pada usia lima tahun dia sudah lancar membaca Al-Qur’an. Sejak kecil pula, Gus Dur sangat menyukai buku-buku filsafat karangan pemikir hebat seperti Plato, Andre Malraux, hingga Karl Marx. Hal itu mendorong beliau menjadi seorang pembelajar yang “mengerikan” dengan menguasai literatur berbahasa Arab, Inggris, Belanda dan bahasa asing lainnya. Bahkan, pada usia remaja Gus Dur telah melahap karya ekonomi Politik Vladimir Lenin, ketika remaja yang lain bahkan kesulitan membaca karya ilmiah berbahasa asing. Gus Dur lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi ketimbang bermain. Maka dari itu, tak mengherankan jika Gus Dur dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan berpikir luar biasa.
Ketika membaca sebuah buku, Gus Dur tidak akan menelan bulat-bulat isi buku tersebut. Sebaliknya, ia hanya mengambil intisari dan hal-hal positif dalam buku itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena hobi membacanya pula, Gus Dur mampu memahami segala permasalahan yang kompleks.
- Meski berasal dari keluarga berada, Gus Dur tidak menjadi sosok yang besar kepala. Buktinya, ia pernah berprofesi sebagai penjual kacang dan es untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Gus Dur adalah pribadi yang menolak pengkultusan “nasab”, maka meskipun dia oleh sebagian orang dianggap berdarah biru karena keturunan Ulama’ besar pendiri Nahdlatul Ulama’ sekaligus memiliki pesantren besar, dia dengan keras menolak diperlakukan istimewa oleh orang-orang disekitarnya. Semenjak kecil dia menjadi seorang pembelajar yang tekun, karena menjalani hidup untuk perjuangan membutuhkan usaha-usaha dari diri bukan dari nasab. Maka dari itu meski bukan termasuk golongan orang kaya, Gus Dur masuk dalam kategori keluarga berada. Akan tetapi, walau keluarganya memiliki cukup uang, Gus Dur tidak tumbuh menjadi anak yang suka bertindak seenaknya. Ia cukup tekun menjalani pendidikannya hingga saat kuliah berhasil meraih beasiswa Kementerian Agama untuk belajar studi Islam.
Sepulangnya ke tanah air, Gus Dur bekerja sebagai jurnalis di beberapa surat kabar dan majalah. Sayang, meski waktu itu karirnya terbilang cukup cemerlang ternyata gaji wartawan tidak cukup membiayai anak dan istrinya. Karena itulah, selain menjadi kuli tinta, Gus Dur juga mengambil pekerjaan sebagai penjual kacang dan es. Gus Dur yang notabene memiliki keluarga besar yang bisa saja membantunya memilih untuk berjuang sendiri.
- Walau lahir dan besar di lingkungan Islam yang kental dengan nilai-nilai agama, Gus Dur dinilai sebagai pribadi plural yang berani membela hak-hak orang yang memiliki kepercayaan berbeda darinya.
Kalau selama ini ada stigma bahwa cendekiawan Islam cenderung lebih membela hak orang-orang dari golongannya, hal tersebut tidak nampak pada pribadi seorang Gus Dur. Ia bahkan dengan berani “pasang badan” untuk membela siapa saja yang tertindas. Tentu bagi sebagian orang masih segar dalam ingatan bagaimana saat tragedi 1998, Gus Dur dengan berani menjamin keselamatan Kaum Tionghoa yang saat itu mengalami kekerasan karena dituduh sebagai biang keladi krisis ekonomi.
“Indonesia bukan negara agama tapi negara beragama. Ada 6 agama yang diakui Indonesia, jadi tolong hargai 5 agama lainnya.”
-Gus Dur
Seluruh warga Tionghoa yang pergi ke luar negeri dipanggil kembali dan diyakinkan akan keselamatannya. Selain itu, beliau juga menganjurkan pada masyakarat dari suku, ras, dan agama lainnya untuk menerima teman-teman dari Tionghoa sebagai keluarga dan berhenti memusuhi mereka. Puncak dari keberanian Gus Dur membela hak kaum minoritas adalah saat dia menjadikan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Tujuan dari keputusan ini adalah guna mengajak segenap rakyat Indonesia untuk mau menghargai perbedaan yang ada. Meski sempat dikecam oleh banyak orang, namun Gus Dur sama sekali tidak membatalkan keputusan tersebut.
Baca Juga:
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
- Puncak Harlah Komplek Q Ke-35
- Tidak hanya menghargai berbagai perbedaan agama saja, Gus Dur juga anti kekerasan dengan atas nama agama. Ia selalu mengatakan bahwa “Tuhan tidak perlu dibela”.
Konsistensi Gus Dur dalam melindungi kesetaraan hak-hak beragama terlihat dalam ketegasannya ketika menyikapi tindakan kekerasan dalam agama. Selain selalu menyerukan usaha perdamaian, ia juga senantiasa mengingatkan orang lain untuk tidak melakukan kekerasan apalagi dalam konteks agama. Menurutnya, kita tidak perlu menyakiti sesama manusia dengan dalil membela Tuhan. Bagi kiai nyentrik ini, Tuhan sudah memiliki segalanya dan kita manusia tidak perlu repot membelanya.
Gus Dur justru lebih suka menyarankan untuk membela hak-hak manusia yang diperlakukan tidak adil. Dia selalu mengajak seluruh lapisan masyarakat berbuat kebaikan dari hari ke hari. Daripada berdakwah dengan mulut, Gus Dur memilih untuk berdakwah dengan tindakan. Ia yakin bahwa kekaguman terhadap Islam justru bisa dibentuk dengan tindakan, bukan omongan.
- Tindakan nyata adalah bentuk kontribusi paling berharga sebagai manusia. Bagi Gus Dur berbuat baiklah saja. Karena bila kamu sudah berguna, tidak peduli apapun agamamu maka orang lain pasti menghargainya.
“Tidak penting apapun agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.”
-Gus Dur
Di sepanjang hidupnya, Gus Dur tidak pernah bosan-bosannya mengajak manusia untuk selalu melakukan tindakan nyata. Menghargai perbedaan, menolong orang lain, serta berhenti melakukan diskriminasi adalah buah pemikiran Gus Dur yang selalu terkenang hingga saat ini. Baginya bila seseorang sudah berbuat baik maka label agama, ras, dan suku sudah tidak penting lagi.
Karena itu, daripada hanya banyak bicara Gus Dur justru selalu menekankan kepada semua orang untuk memberi melalui kontribusi nyata. Apa yang bisa kamu berikan, berikanlah. Apa yang dapat dilakukan, lakukanlah. Baik itu dalam bentuk pikiran, tenaga, dana, dan lain sebagainya yang penting tindakannya ada. Jika kamu sudah mampu melakukan hal ini, maka orang lain tidak akan melihat agama, ras, dan suku. Mereka akan melihat apa yang kamu berikan.
- Hingga akhir hayatnya, Gus Dur tetap jadi pribadi yang sederhana dan bersahaja. Walau banyak pemikiran besar lahir darinya, ia tidak pernah merasa lebih hebat dari manusia lainnya.
Hasil pemikiran Gus Dur yang selalu sukses membuat banyak orang kagum tidak menjadikannya sosok yang besar kepala. Hingga akhir hayatnya, dia selalu tampil sebagai seorang pemimpin yang rendah hati dan mengayomi. Meski telah memiliki uang yang banyak beliau masih hobi menggunakan batik sederhana dan apa adanya.
Banyak juga pemimpin dunia yang mengidolakan Gus Dur dan kagum dengan kecerdasannya. Namun lagi-lagi, Gus Dur tetaplah sosok yang sederhana dan menganggap kepintarannya bukanlah segalanya. Ia bahkan juga enggan dianggap lebih pintar dari orang lain. Hal inilah yang membuat Gus Dur diidolakan oleh banyak orang. Kecerdasannya hingga tidak membuat ia jadi orang yang jumawa.
–
Oleh: Santri dari kamar Sanding Gerbang Mepet Q7
Sumber:
- Ridwan, Nur Kholik. 2019. Ajaran-Ajaran Gus Dur : Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur. Yogyakarta: Diva Press.
- Gus Yusuf Chudlori, Idola Generasi Milenial NU
Foto oleh Muhammad Fadhel di behance