Syarat untuk melakukan jamak dan qasar adalah seseorang yang dalam perjalanan (musafir). Musafir berasal dari bahasa Arab saafara-yusaafiru-saafaran-musafiran yang berarti berpergian. Lafaz musafir sendiri adalah bentuk isim fa’il dari saafara yang berarti orang yang berpergian atau melakukan perjalanan. Jamak dan qasar shalat merupakan salah satu keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah kepada umat Islam.
Salat yang awalnya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, dengan dilaksanakannya jamak, salat tersebut dapat dilaksanakan diawal maupun diakhir salat untuk digabung dengan shalat yang lain. Begitu juga dengan mengqasar, salat yang semula berjumlah empat rakaat dapat diringkas menjadi dua rakaat. Mengenai mengqasar salat sudah dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 101, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir”.
Penggunaan kata ‘takut diserang orang kafir’ dalam ayat tersebut bukanlah syarat dibolehkannya mengqasar shalat. Sehingga melaksanakan qasar, titik tumpuannya adalah bepergian jauh (safar thawil) walaupun tidak ada kekhawatiran atas serangan oleh pihak tertentu.
Terkait tentang persoalan menjama dan mengqasar salat, tentunya banyak masalah yang masih belum diketahui oleh banyak orang, salah satunya mengenai “Masih bolehkah menjamak dan mengqasar shalat ketika menginap di lokasi tujuan?”. Dalam menjawab persoalan tersebut, hal pertama yang harus dipahami adalah tentang batasan suatu perjalanan dianggap terputus (inqitha’ as-safar). Dengan terputusnya suatu perjalanan, maka seseorang yang bepergian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk menjamak dan mengqasar shalat.
Baca juga
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
- Puncak Harlah Komplek Q Ke-35
Penjelasan terperinci mengenai terputusnya perjalanan seorang musafir secara umum terbagi menjadi tiga keadaan. Pertama, kembali ke tempat tinggalnya (Wathan). Dalam keadaan demikian, perjalanan musafir menjadi terputus tatkala ia telah melewati batas desa tempat tinggalnya, sehingga ketika ia telah masuk di desa tempat tinggalnya ia sudah tidak diperkenankan untuk menjamak dan mengqasar salat.
Kedua, ketika ia mampir di suatu tempat namun tidak ada keperluan (acara) apa pun. Maka dalam keadaan demikian, jika ia berniat bermukim atau menginap di tempat tersebut selama empat hari lebih atau hanya niat bermukim secara mutlak, maka perjalanannya dianggap terputus dengan melewati batas desa di tempat tersebut. Seperti halnya pada permasalahan kembali di tempat tinggalnya, sedangkan ketika seorang musafir tidak niat bermukim atau niat menginap di tempat tersebut, atau ia berniat mukim namun kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak langsung terputus dengan melewati batas masuk desa tempat tersebut. Namun, perjalanan menjadi terputus dengan ia tinggal atau menginap di tempat tersebut selama empat hari secara utuh, tanpa menghitung hari di mana ia sampai dan hari di mana ia pergi dari tempat tersebut.
(Klik page 2 untuk kelanjutannya)