Apakah Menginap di Lokasi Tujuan, Masih Boleh Menjamak dan Mengqasar Salat?

Diposting pada

Ketiga, ketika ia singgah di suatu tempat dengan adanya suatu keperluan (acara). Maka dalam keadaan demikian, putusnya perjalanan dilihat dari keperluan musafir di tempat tersebut. Jika keperluannya tidak akan selesai dalam jangka waktu empat hari, maka perjalanannya dianggap terputus dengan sampainya dia di tempat tersebut, baik ia melaksanakan niat mukim ataupun tidak. 

Namun jika keperluannya bisa selesai setiap hari, sekiranya kurang dari empat hari, maka perjalanannya tidak dihukumi terputus kecuali setelah melewati masa delapan belas hari. Pembatasan terputusnya perjalanan dengan delapan belas hari pada permasalahan ini, berdasarkan hal yang dilakukan oleh Rasulullah setelah Fathu Makkah pada saat menunggu kepastian selesainya Perang Hawazin. 

Segala penjelasan di atas mengenai putusnya perjalanan (inqitha’ as-safar) yang menyebabkan seorang musafir tidak dapat mengqasar dan menjamak salat, berdasarkan referensi dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin yaitu : “Kesimpulan tentang permasalahan terputusnya bepergian, bahwa jika musafir kembali dari bepergiannya dari jarak mengqasar salat menuju tanah kelahirannya, maka terputus bepergiannya dengan sampai dibatas desa, jika memang ada. Baik dia niat mukim ataupun tidak. Baik ada keperluan (hajat) ataupun tidak. Adapun ketika seseorang kembali (atau sampai) ke selain tempat tinggalnya dan dia tidak ada keperluan apapun berkunjung di tempat tersebut dan sebelum sampai di tempat tersebut ia niat mukim secara mutlak, atau mukim selama empat hari secara utuh, dan ia dalam keadaan mandiri (tidak tergantung dengan siapa pun) maka bepergiannya dianggap terputus dengan melewati batas desa. Adapun ketika ia tidak niat sama sekali atau ia niat mukim kurang dari empat hari, maka bepergiannya tidak dianggap putus dengan melewati batas desa tersebut, tapi terputus dengan mukim di tempat tersebut selama empat hari selain hari ia sampai dan hari ia keluar dari tempat tersebut”

“Sedangkan ketika ia berkunjung ketempat selain tempat tinggalnya karena terdapat suatu keperluan (hajat), jika keperluannya tidak dapat selesai sebelum empat hari, tetapi butuh lebih dari empat hari, maka bepergiannya dianggap terputus dengan berdiamnya dia di tempat tersebut. Baik ia melakukan niat mukim setelah sampai di tempat tersebut ataupun tidak. Jika keperluannya bisa saja selesai setiap hari, maka bepergiannya tidak terputus kecuali setelah ia berada di tempat tersebut selama delapan belas hari secara utuh” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116).

Baca juga

Berdasarkan berbagai perincian putusnya perjalanan dalam permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika kita terapkan dalam permasalahan bolehnya menjamak dan mengqasar salat di lokasi tujuan, tentunya terdapat berbagai perincian yang disesuaikan dengan keperluan (hajat) yang dilakukan oleh seseorang tatkala berada di tempat tujuan tersebut. Sebab permasalahan ini hampir sama dengan keadaan ketiga dalam perincian hukum di atas. Jika keperluannya di tempat tersebut lebih dari empat hari, maka tatkala ia sampai di tempat tujuannya ia dianggap terputus perjalanannya, sehingga sudah tidak boleh baginya melaksanakan shalat dengan cara jamak dan qasar.

Namun jika keperluannya dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia dapat menjamak dan mengqasar salatnya sampai delapan belas hari, seandainya saja ia memutuskan untuk menginap di tempat tersebut lebih lama. Berbeda halnya jika seorang musafir menginap di suatu tempat tanpa adanya keperluan apa pun, misalkan hanya sebatas transit di rumah temannya, karena tujuan perjalanan yang begitu jauh sehingga butuh istirahat, maka dalam keadaan demikian sama persis dengan perincian kedua dalam pembahasan yang telah dijelaskan di atas.

Oleh: Indah Prissyla Arintia

Sumber:

tebuireng.online

islam.nu.or.id

Photo by Sangga Rima Roman Selia on Unsplash