Beliau yakin apa yang didhawuhke kiai tidak akan menyengsarkan beliau. Apa yang diinginkan kyai meskipun tidak cocok dengan keinginan beliau pasti beliau nggih nggih. Pasrah dan ikhlas. Paribasan diminta untuk terjun ke sumur pasti beliau mau. Yang penting takdzim dan ridho kiai prinsip beliau.
Ustad yang sering disapa dengan Pak Yusuf ini berasal dari Purworejo, beliau lahir pada hari Ahad Kliwon, 10 Juni tepatnya 49 tahun yang lalu. Beliau mulai menimba ilmu di krapyak sejak kelas V SD hingga saat ini. Cukup lama bukan? Tak heran beliau sangat mengetahui perkembangan krapyak khususnya pendirian dan perkembangan Komplek Q tercinta.
Sebelum kelas V SD beliau di Purworejo mengenyam pendidikan formalnya di SD Purworejo, karena keinginannya untuk mondok maka sekolahnya pindah ke SDN Jageran yang kini SD tersebut menjadi sekolah putrinya (Lady Sofhia santri Madrasah Tahfidz Putri Anak/ MTPA Komplek Q). Setelah lulus SD beliau melanjutkan ke Mts Al Munawwir, MA Al Munawwir, S1 dan S2 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Saat pertama menginjakkan kaki di Krapyak beliau nderek di ndalem Bapak K. Masyuri karena ikut dengan pakliknya. Tiga bulan lamanya beliau tinggal di sana. Setelah itu pindah ke Komplek L, dikarenakan Pakliknya menikah dan boyong. Mengaji di Komplek L selama 5 tahun, Saat itu juga ponakan mbah Warson (Pakyai Nawawi), Pak Yusuf akhirnya nderek beliau (Pakyai Nawawi), tapi sering ditimbali Mbah Warson, bahkan tidur disana dengan putranya, K.H. Fairuz atau yang lebih akrab disapa Gus Nang yang juga seangkatan dengan beliau. Setalah Pak Nawawi meninggal, Pak Yusuf terus nderek Mbah Yai Warson, ketika itu saat beliau menginjak kelas 2 Aliyah.
Pengalaman ngaji beliau meliputi ngaji dengan mbah Ali, Mbah Warson, Mbah Zainal, Pak Hasbullah, Mbah Ahmad, Mbah Najib, Mbah Zaini (kakak Mbah Warson), K Masyhuri. Beberapa teman-teman beliau adalah Pak Habib Syakur, pengasuh PP AL Imad Bantul, Pak Hilmi yang juga salah satu pengasuh di Krapyak dan sebagainya. Namun dengan Mbah Warson beliau lebih sering ngaji sorogan di kamar beliau bersama Gus Nang dan Gus Fahmi, karena beliau nderek ndalem. “ Kalau nderek ngaos di kelas dengan Mbah Warson tidak pernah. Yang pernah ngaos dalam kelas bersama Mbah Warson yaitu Bapak Muslih Ilyas, “ ujar Pak Yusuf.
Yang paling sering didapat dari Mbah Warson adalah ilmu kehidupan, diceritakan kepadanya mengenai Mbah Warson yang mengarang kamus, jualan beras, berorgansasi NU, menjadi wartawan, menjual bawang merah, dan tata cara mengajar. Di rumah beliau, Pak Yusuf tidak pernah ditanyai “Wis ngaji urung?” tapi pasti “Uwis maem urung? Iki maem iki !” , ujar Pak Yusuf menirukan perkataan Mbah Warson.
Mbah Warson adalah sosok yang nyantai padahal seorang kiai besar. Berpenampilan biasa dan menyetir mobil bersama ibuk, kemudian ibuk berbaring di masjid. Sampai ada yang tanya kepada Mbah Warson, “ supir ipun ibuk? ” (Apa ini sopirnya, buk ?) mendengar itu Pak Yusuf terdiam. Mbah Warson menjawab, “enggih, monggo-monggo”, mbah warson pun kembali berbaring. Memang saat itu Mbah Warson tengah memakai kaos oblong. Pak yusuf mengaku bahwa beliau sering diajak Mbah Warson untuk pergi ke Jakarta, Kediri, bahkan Cirebon.
Model mengajar dari Mbah Warson menerapkan kedisiplinan terutama waktu dan cara ngajar. Mengaji sorogan, kalau tidak bisa ya tidak dibenarkan. Beliau cukup ngendika “ heem..hem ” lalu ditinggal pergi. Padahal Pak Yusuf tidak paham, kenapa beliau begitu. Tapi pak yusuf tidak marah dan tidak menyerah. “ Misalkan membaca “Alkalamu huwal lafdzi”. Bapak : “ Hem ” Langsung ditinggal pergi tanpa dikasih tahu bagaimana benarnya. Kan harusnya dikasih tau itu khobar jadinya alkalamu huwal lafdzu. Nah kalau gitu kan paham tapi itu tidak dikasih tahu. Ngajinya salah, hem, tiinggal pergi. Kemuadian dihampiri bapak lagi “, cerita Pak Yusuf. Dalam sorogan yang terpenting adalah istiqomah. “ Sehingga dapat disimpulkan model pembelajaran Bapak itu model santri yang aktif mencari tahu benarnya bagaimana, disiplin, tegas dan benar-benar serius serta fokus kalau saat ngaji. Kalau di luar ya biasa lagi, “ kenannya akan sesosok Bapak Warson.
Pak Yusuf beda dengan santri biasa karena sering didhawuhi Bapak. Beliau ikhlas didhawuhi pasti beliau nderek/manut. Bahkan karena seringnya didhawuhi, beliau didhawuhi dengan siapa beliau menikah (dijodohkan) beliau nderek. Beliau dijodohkan oleh Bapak dengan dengan Ibu Aini yang saat itu masih kuliah semester 3 dan menjadi pengurus madin (madrasah diniyah) bidang pengajaran. Beliau pun bersedia. Kebetulan saat itu Pak Yusuf di bagian keuangan yang secara tidak langsung sering berkolaborasi dengan bidang pengajaran terutama dalam urusan bisyaroh asatid. Singkat cerita setelah pak yusuf bersedia, Bapak Warson yang melamarkan bahkan yang mengakadkan. Pak Yusuf berangkat dari pondok bersama Bapak Warson dan keluarga serta para santri. Masalah maskawin dan sebagainya, Pak Yusuf tidak mengurusinya. Bahkan tukar cincin pun beliau tidak mengurusi. Sampai-sampai Ibu Khusnul (Istri Bapak Warson) mengambilkan salah satu cincinnya untuk maskawin. Sedangkan snack seperti lemper dan roti diuruskan para santri juga.
Sejak adanya komplek Q, beliau diberi tugas mengurusi pelajar terutama sorogan pelajar. Kini beliau diamanahi ibu (ibu khusnul khotimah) untuk mengurusi santri pelajar di ndalem Bapak Yusuf (Q9) dikarenakan santri-santri Komplek Q penuh, bahkan sampai beberapa santri terpaksa menunggu antrian kamar karena keterbatasan tempat. Adapun sistem Q9 sama dengan pondok Komplek Q pusat (Q1-Q8). Aturannya pun sama, bahkan ustadzah-uztadzah didatangkan dari Komplek Q pusat (mbak-mbak paska).
Dalam mengasuh santri-santri di Q9, Pak Yusuf ingin mengetahui santri-santrinya setiap hari, jadi beliau memperhatikan santri-santrinya secara intensif. Setiap Jam 03.00 pagi dengan speaker membangunkan santri-santri, “ Mbak-mbak tahajud, bangun.” Saat waktu Subuh juga, “Mbak mbak, subuh jamaah.” Pagi juga memastikan santri-santrinya sudah berangkat sekolah belum, dengan speaker. Sore juga dicek kembali dengan melihat kendaraan anak-anak di depan ndalem. Sholat Asar jamaah jam 16.00 setelah itu dzikir qur’an. Sehari nderes sejuz. Kalau udzur baca solawat 1000 kali. Hal itu dalam rangka Pak Yusuf ingin bertemu dengan santri. Absen ngaji dzikrul qur’an dibawa beliau jadi jika mau tanda tangan kehadiran harus bertemu dengan beliau. Setelah magrib anak-anak madin dengan sistem yang sama dengan Komplek Q pusat.
Pak Yusuf berpesan kepada santri-santri Komplek Q bahwa ketika besok menjadi alumni dan menjadi wanita karier, tetap menomor satukan berbakti kepada suami. Sejatinya kodrat perempuan berbakti pada suami, mengurusi pekerjaan rumah dan anak-anak. Pak Yusuf berkeyakinan diamnya istri di rumah (berbakti suami, mengurusi pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak) nilainya lebih dari pada keluar untuk ibadah-ibadah di luar. Jikalau ingin mengajarkan ilmu yang dimiliki ke luar rumah boleh, tapi jangan sekali-kali berniat untuk mencari uang tetapi menyumbangkan ilmu.
Teruntuk santri-santri yang masih mukim jika berkeinginan bejo dunia akhirat, jangan sekali-kali berani dengan orang tua. Kalau ingin berkah dan manfaat ilmunya, jangan sekali-kali ngrasani dan berani dengan gurunya dan anak cucunya guru. Takdzim kepada gurunya.(Laili Nur Fatimah dkk)