Titic Rahayu adalah salah satu santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q , Krapyak, Yogyakarta. Ia berhasil menyelesaikan 30 juz bil ghoib di pesantren tersebut. Di samping itu, ia juga merupakan salah satu pembimbing MTPA (Madrasah Tahfidz Putri Anak) di Komplek Q.
Wanita yang akrab disapa Titic atau Ayu ini lahir di Lamongan 24 tahun silam. Ia adalah anak kedua dari pasangan Bapak Sutiyo dan Ibu Alimah yang dikenal memiliki suara merdu. Titic kecil bercita-cita menjadi seorang penyanyi. Namun, seiring bertambahnya usia, ia justru memilih untuk memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 2011. Inilah awal ia mengenal dunia pesantren.
Termotivasi dari keluarga dan lingkungan serta ingin memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuanya di akhirat kelak, ia berharap dengan menjadi penghafal Al-Qur’an bisa membuatnya lebih berhati-hati dalam bertindak. Hal ini yang kemudian membuatnya memiliki semangat yang besar untuk menghafalkan Al-Qur’an. Tahun 2016, Titic mulai setor hafalan pada Ibu Nyai Hj. Khusnul Khotimah Warson–Pengasuh PP Al Munawwir Komplek Q.
Ada kisah menarik dalm perjuangan mengahfal Al-Qur’an versi Titic. Ketika ia sudah mencapai hafalan 15 juz, ia diminta pindah pesantren oleh sang ayah karena beliau ingin anaknya nyantri di pesantren yang lebih dekat dengan rumah sebab kuliahnya sudah tuntas. Selain karena permintaan sang ayah, Titic juga ingin menjadi santri salaf agar lebih fokus menghafal. Namun, Ibu Nyai Warson–yang akrab dipanggil Ibu oleh para santri–tidak mengizinkan ia pindah, lantaran hafalannya yang sudah 15 juz. Ibu menghendaki agar ia menyelesaikan hafalannya di Komplek Q.
Berkat dawuh sang guru,Titic pun mengurungkan niatnya untuk pindah pesantren. Pada akhirnya, Titic bisa menuntaskan hafalan 30 juz. Hari Jumat, September 2020, tepat setelah jamaah subuh dilaksanakan takhtiman atau doa bersama sebagai bentuk syukur telah selesainya 30 juz bil ghaib yang dipimpin oleh Ibu. Selesai takhtiman, Ibu memberi nasihat kepada para santrinya. Beliau mengisahkan kembali saat Titic sowan hendak boyong, tapi tidak diizinkan oleh Ibu.
“Iki alhamdulillah gek kae ra sido boyong, saiki alhamdulillah wis khatam yo, yo iki mergo manut, aku ra ngolehi boyong manut ra sido boyong. Mulo dadio wong sing manut mergo wong manut iki mbarokahi” (“Ini alhamdulillah waktu itu tidak jadi boyong, sekarang alhamdulillah sudah khatam ya. Ya ini karena nurut tidak diperbolehkan boyong nurut tidak jadi boyong. Maka dari itu, jadilah orang yang nurut karena orang nurut itu mbarokahi”), kenang ibu sembari menambahkan nasihat yang sangat menyentuh. Titic yang kala itu berada di hadapan ibu hanya bisa tersenyum mengingat hal tersebut.
Menurut Titic, hidupnya mengalir saja. “Waktunya ngaji ya ngaji, waktunya kuliah ya kuliah. Namun, sesibuk-sibuknya kuliah harus tetap prioritaskan ngaji, sebab pernah dinasihati kalau mengejar dunia akhiratnya keri (tertinggal), tapi kalau mengejar akhirat, dunianya katut (ikut)”, hal tersebut yang terpatri dalam diri Titic hingga saat ini.
Oleh: Silfi Ainunnisa