Suara tarkhim dari masjid pesantren putra bersayup parau memanggil jiwa-jiwa yang terlelap dalam buaian alam ilusi. Hanya segelintir tubuh yang bersedia memenuhi panggilan suara parau sang takmir dan merelakan mimpi indahnya pergi bersama aliran sejuk air wudlu dini hari. Sementara itu, di sudut belakang mushola putri, seorang gadis cantik bermata coklat telah menggelar sajadahnya dan melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan lembut. Gadis itu bernama Hafshah.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 03.45 WIB. Gadis itu menutup mushafnya dan bergegas menuju tempat kawan memasaknya terbaring tidur. “Mbak Fathmah, bangun, sudah hampir Subuh mbak. Aku ke dapur dulu untuk mencuci beras, nanti njenengan nyusul setelah sholat Subuh. Hayuk mbak,” bisiknya lembut sambil menggerak-gerakkan lengan Mbak Fathmah hingga dia yakin Mbak Fathmah telah benar-benar bangun.
Lima belas menit berlalu, Hafshah telah selesai membersihkan dapur dan menanak nasi. Mbak Fathmah pun menghampirinya untuk meneruskan pekerjaan yang lain. Hafshah pun segera pergi ke mushola untuk melaksanakan Sholat Subuh. Ya begitulah, mereka sholat Subuh sendiri-sendiri secara bergantian demi terselesainya tugas dapur tepat waktu agar keluarga ndalem dan anak-anak santri bisa sarapan tepat waktu pula.
Sekembalinya di dapur, Hafshah langsung membuat jus pisang kesukaan ibu nyai. Selanjutnya, dia mengambil air panas yang telah mendidih di kompor dan menuangkannya di bak mandi Ning Nahswa. Sementara Mbak Fathmah mempersiapkan lauk-pauk, ia menata meja makan ndalem dan membuat minuman teh hangat.
Tepat pukul 06.30 WIB, Hafshah membunyikan bel pertanda sarapan pagi telah siap. Para santri pun langsung berbondong-bondong datang ke dapur dan mengambil jatah sarapan pagi mereka. Setelah memastikan tugasnya selesai, Hafshah menghapiri Mbak Fathmah yang sedang duduk santai menunggu mesin cuci selesai berputar. “Dorrr !” seketika Mbak Fathmah terperanjat kaget lalu menutup telinganya. Hafshah tertawa jahil melihat temannya yang ginuk-ginuk itu bertingkah lucu. Keduanya pun akhirnya saling bergurau. Tiba-tiba gurauan mereka terhenti ketika mbak Fathmah bertanya, “Kapan Hap, kamu mau pulang? Ini udah tahun ketujuh loh,” Seketika Hafshah terdiam dan menerawang jauh ke atas.
“InsyaAllah mbak, jika saatnya telah tiba,” jawabnya dengan pasti.
Itu jawaban yang selalu ia utarakan ke orang lain jika ada yang bertanya. Hal itu membuat mbak Fathmah heran sekaligus kagum. Tidak habis pikir temannya bisa sekuat ini mengemban amanah orangtuanya yang baginya bisa dibilang “konyol dan menyiksa batin”. Bagaimana tidak? Orangtuanya mengamanahkan dirinya selama menuntut ilmu di Yogyakarta untuk tidak pulang ke rumah dan tidak menghubungi bapak ibunya minimal 7 tahun ! Gila sekali. Ini bukan zaman abad 15 yang teknologinya belum banyak berkembang, sehingga jika merantau harus mengorbankan diri untuk menahan rindu dan LDR-an bertahun-tahun. Sekarang kemajuan teknologi telah sangat pesat. Komunikasi serba mudah. Transportasi serba mudah. Perjalan keliling dunia aja bisa dilakukan cuma dalam waktu sehari.
Sebagai teman dekatnya dari MA, dia merasa belum sepenuhnya paham atas alasan konyol orangtuanya itu. Dia pun sering mendapati Hafshah yang sembunyi-sembunyi menangis deru di malam hari di balik pintu lemari dengan memandangi foto kedua orangtuanya. Sungguh pilu hati ini melihatnya. Jika dipikir-pikir sangat tidak logis amanah orangtua Hafshah baginya. Padahal rumah Hafshah cuma di Banten, sedangkan dirinya di NTB yang jelas jaraknya lebih jauh, setiap 2 tahun sekali dirinya selalu pulang. Setau dia, orangtua Hafshah adalah pengusaha sukses sehingga ini bukan terkait masalah ekonomi.
Pernah suatu ketika di tahun kelima, ia mengantri tepat di belakang Hafshah ketika setoran hafalan, lalu setelah selesai Hafshah menyetorkan hafalannya ibu nyai bertanya “Ibu tahu kamu sedang rindu sekali dengan kedua orangtuamu, silahkan pulang nduk. Ibu yang menanggung biaya perjalananmu sebagai hadiah dari ibu dan sampaikan salam ibu kepada bapak ibumu, ” Hafshah pun menolaknya. Wisuda S1 dan wisuda Qur’annya beberapa bulan yang lalu pun orangtuanya tidak hadir. Ini sudah di penghujung tahun ketujuh. Mungkin jika dirinya menjadi Hafshah, tidak akan kuat diberi amanah konyol seperti ini.
“Mbak Fathmah! Kenapa njenengan bengong? Uy!” tepuknya pelan di pipi gembul Mbak Fathmah.
“Ih enggak Hap. Aku lagi serius memikirkan tentangmu. Tolong jelasin sejelas-jelasnya mengapa bisa orangtuamu memintamu untuk tidak pulang selama minimal 7 tahun kek gini? Ini sulit aku cerna Hap. Apakah ada tujuan khusus? Plislah kasih tau,” serbunya dengan raut wajah memelas yang menggemaskan.
“Itu cucian bajunya dah selesai mbak cantik, ayuk njemur,” ajaknya sambil membuka penutup mesin cuci.
“Hmmm. .. Hafshah emang gitu ya, suka mengalihkan topik jika ditanya tentang ini. Untung kamu baik, cantik, pintar, tidak sombong, suka menabung, sabar, rajin, dan bayak lelaki yang suka. Gak kayak aku nih ginuk-ginuk bisanya cuma makan,” seketika wajahnya bertekuk lesu dan meratapi perutnya yang tidak kunjung mengempis padahal sudah berpuasa makan nasi.
“Husshhh, gak boleh berkata begitu. Mbak Fathmah loh idaman. Jago masak, lucu dan menggemaskan,” Hafshah mencubit pipi Mbak Fathmah dengan gemas dan segera berlalu ke halaman depan ndalem meninggalkan mbak Fathmah yang kesel dan kesakitan. Segera Mbak Fathmah berlari kecil menyusul langkah Hafshah dengan membawa gantungan baju.
Ketika keduanya asyik menjemur pakaian, tiba-tiba terlihat mobil Avanza silver memasuki gerbang ndalem. Mbak Fathmah pun segera masuk ke ndalem dan memberitahu bahwa ada tamu. Tampak seorang laki-laki berwajah teduh berusia sekitar 70-an tahun keluar dari mobil lalu diikuti oleh seorang pemuda yang terlihat sangat tawadluk menuntunnya. Tampaknya mereka adalah tamu agung dan bukan orang biasa. Hafshah segera menunduk, membereskan ember dan kembali ke ndalem lewat pintu belakang. Dari balik pintu belakang, terlihat wajah romo kyai yang berbinar-binar bahagia menyambutnya.
Sesampainya di dapur, Hafshah meletakkan ember dan membereskan wadah bekas sarapan santri. Tiba-tiba Mbak Fathmah mendekatinya dan membisikinya, “Hap Kamu diutus ibu mandi dan beres-beres yang rapi, setelah itu ke ndalem. Segera,”
“Ada apa mbak? Kok tidak kaya biasanya,” tanyanya heran.
“Sudahlah, mandi aja. Nanti kamu tahu,” jawaban mbak Fathmah benar-benar membuatnya semakin bertanya-tanya. Tapi entah kenapa, timbul rasa bahagia dalam hatinya. Sepertinya ini adalah saat yang dimaksud Ayah bahwa bom rindu itu sebentar lagi meledak. Dengan berdebar-debar ia segera menuju ke kamar mandi dan berberes diri. Setelah itu ia melaksanakan sholat Dhuha 4 raka’at seperti biasanya dan menuju ke ndalem.
Baru akan sampai di pintu ndalem, Ibu Nyai Faridah sudah menunggunya di depan pintu. “Sini nduk, duduklah sini. Ada sesuatu yang akan romo sampaikan,” seketika ibu nyai menggandeng lengan Hafshah dan memintanya duduk di sampingnya. Di depannya, sesosok pemuda berwajah bersih dan teduh yang sedang menatapnya. Mata mereka bertemu. Ada dua hati yang kering akibat rindu kini telah basah kembali dan bersemi bermekaran. Hafshah ingat, dirinya pernah bertemu pemuda ini 7 tahun yang lalu. Sungguh, suasana ini semakin membuat dadanya bedegup kencang dan bibirnya kelu tak sanggup berkata apapun. “Ayah terima kasih,” batin Hafshah penuh syukur.
“Jadi begini nduk. Romo dan ibu sebenarnya sudah paham atas apa yang Ayahmu inginkan dari kamu anak kesayangannya. Beliau memintamu untuk tidak pulang dan menghubungi mereka selama minimal 7 tahun ini adalah bentuk kasih sayang dan perlindungan yang luar biasa dari mereka. Dan kamu sanggup untuk itu. Kamu telah menjadi gadis yang matang dan cerdas, telah menyelesaikan ngaji dengan baik, sekolah dengan baik, menjadi khadimah yang bertanggung jawab. Ibu pun menguji seberapa kuat kamu menghadapi segala tantangan ini, seberapa patuhnya kamu terhadap amahah ayah ibu dan Romo ibu nyai. Kami selalu mengawasimu dan melaporkan segala tentangmu pada ayahmu yang merupakan teman Romo yai dulu mondok. Sekarang saatnya kamu pulang nduk. Dan maukah kamu menikah dengan Gus Hilmi putra Bapak Kyai Yahya dari Sarang?”, ibu nyai menatap matanya dengan lekat dan penuh rasa kasih.
Seketika ruangan menjadi bisu. Terdengar melodi-melodi riang berlarian diantara dua hati ini. Gus Hilmi tampak menunggu dan gusar atas jawaban Hafshah.
“Bagaimana Hafshah?” tanya abah Yahya menyadarkan Hafshah bahwa momen ini adalah yang dimaksud Ayah, saatnya bom rindu itu meledak.
“Enggih,” jawab Hafshah.
“Alhamdulillah.” semuanya mengucap syukur penuh bahagia. Seketika itu Ibu Nyai Faridah langsung memeluk tubuh Hafshah dan menangis di bahunya sambil menepuk-nepuk punggung Hafshah, ” Terima kasih kamu telah kuat nduk, Allah pilihkan yang terbaik untukmu, lewat wasila tidak pulang 7 tahun. Saatnya kamu menemui orantuamu nduk, selamat menjalani hidup yang baru dengan Hilmi.” Isak tangis mereka pecah penuh haru bahagia.
Dari balik pintu ndalem, Mbak Fathmah yang ikut mendengar percakapan mereka ikut menangis bahagia. Sambil bergeming, “Ternyata gini tho resepnya. InsyaAllah besok anakku juga tak gituin ah, biar aman dan lancar ngajinya, sekolahnya dan dapet Gus dengan cara seindah ini. Huhuhuhu…”.
–
Oleh: Khusnul Muthohharoh
–
Foto: Kelli McClintock