Jum’at, 06 Juli 1942 suasana Pesantren Krapyak terasa meresahkan. Sehabis jama’ah salat Jum’at, Ibu Ny. Jamalah binti KH. M. Munawwir, mendapuk dirinya untuk senantiasa setia menemani ayahanda hingga ajal merenggut nyawanya.
Beliau, KH. M. Munawwir menghembuskan nafas terakhirnya setelah menderita sakit 16 hari lamanya.
Selama kurang lebih 33 tahun beliau mengasuh Pesantren Al Munawwir Krapyak, melahirkan rona kultur kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat daerah Krapyak. Sebab di setiap harinya, kumandang lantunan Alquran menjadi faktor progresif perubahan sosial masyarakat di daerah utara Alas Mentaok tersebut.
Jasa-jasa beliau amat sangat dikenang, baik bagi keluarga, santri, masyarakat, dan teman seperjuangan beliau. Wujud Mbah Munawwir yang dikenang, layaknya keranda beliau yang hanyut bersama 2 KM panjangnya pentakziyah yang turut mengantarkan jenazah beliau dari Krapyak ke Dongkelan.
Situasi Sepeninggal KH. M. Munawwir
Keresahan itu terus menjalar di berbagai ruang lingkup pesantren. Bahwa belum menginjak 100 hari sepeninggal sosok figur utama KH. Munawwir, tidak sedikit santri-santri Pesantren Al Munawwir mengalami kegalauan. Tidak sedikit dari mereka yang pulang dan tidak kembali.
Situasi itu diperparah dengan peralihan kolonialisme yang semakin masif. Setelah penjajah Belanda (sekutu) dikalahkan oleh Jepang. Tentu, peralihan itu akan mengubah beberapa kebijakan-kebijakan dan opresifnya penjajah terhadap masyarakat Indonesia.
Beruntung, situasi genting itu cepat berlarut, tatkala pihak keluarga besar bani Munawwir dengan tanggap merespon keresahan zaman yang sempat membuat surut nama Pesantren Al Munawwir.
Seperti pada umumnya, peralihan kepemimpinan atau masa transisi kekuasaan menjadi masa-masa yang amat sulit. Pencarian pengganti terhadap figur pemimpin sebelumnya menjadi salah satu faktor kesulitan tadi. Selain ihwal kurikulum, metode pengajaran, dan ciri khas pesantren kelak.
Ketika KH. Ali Maksum diboyong ke Krapyak
Respon tanggap keluarga besar bani Munawwir itu, menghasilkan beberapa hal, yaitu pertama ; tetap mempercayakan kepemimpinan pondok kepada putra-putri dan menantu KH. M. Munawwir sesuai dengan keahlian dan kemampuan.
Kedua, mengirim utusan ke Lasem, menghadap KH. Ma’shum agar beliau berkenan melepas putranya (KH. Ali Ma’shum) untuk diboyong ke Krapyak , mengelola Pesantren yang baru saja ditinggal pengasuh tunggal (KH. M. Munawwir) untuk membantu KH. R. Abdullah Affandi dan KH. R. Abdul Qodir dalam membina dan mengelola Pesantren.
Ikhtiar untuk memboyong KH. Ali Maksum dari Lasem yang pada saat itu berkedudukan sebagai menantu Simbah KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Kelak, ikhtiar itu menjadi kunci keberhasilan bertahan dan berkembangnya Pesantren Krapyak hingga saat ini.
KH. Ali Maksum menikahi putri KH. Munawwir yang bernama Ibu Ny. Hj. Hasyimah Munawwir. Ada sebuah cerita menarik, menurut penuturan yang disampaikan Ibu Ny. Hj. Ida Rufida yang menukil perkataan Mbah Ali Maksum: “Ibumu (Ny. Hj. Hasyimah Munawwir) tidak mau dinikahkan selain dengan Bapak (KH. Ali Maksum)”.
Hal itu disampaikan KH. Ali Maksum ketika keluarga sedang berkumpul, dan kebetulan Ibu Ny. Hj. Hasyimah sedang berada di sana juga, beliau hanya tersipu malu mendengar ungkapan suaminya tersebut.
Sebanyak tiga kali Mbah Munawwir meminta KH. Ali Maksum untuk menetap di Krapyak. Tapi selama dua kali, permohonan itu belum diterima oleh KH. Ma’shum sebab Mbah Ali juga dipasrahi oleh ayahandanya untuk mengembangkan Pesantren di Lasem.
Namun, ketika kondisi pesantren setelah meninggalnya KH. M. Munawwir begitu mengkhawatirkan. Banyak pesantren yang terpaksa bubar, sama halnya dengan pesantren Krapyak. Sebab lain karena Jepang sangat kejam, memaksa, mengeksploitasi sampai penduduk tidak bisa makan. Situasi inilah yang mengakibatkan tidak sedikit pesantren bubar.
Pada akhirnya, ketika utusan (KH. Abdurrahman adik KH. Munawwir) dari Krapyak mendatangi KH. Ma’shum di kesempatan ketiga kalinya, dan mendengarkan cerita kondisi pesantren krapyak seperti di atas. Beliau KH. Ma’shum merelakan kepergian anak emasnya ke Krapyak.
“Yo wis, Ali boleh dibawa ke Krapyak, tapi apa maunya Ali jangan diganggu”. Demikianlah pesan terakhir Mbah Ma’shum ketika merelakan anak emasnya mengasuh Pesantren Al Munawwir bersama KH. Abdul Qodir dan KH. Abdullah Affandi.
Sumber:
Sejarah Pondok Pesantren Al Munawwir karangan Junaidi Ali
Sumber artikel: almunawwir.com