i'tibar

I’tibar dari Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad saw.

Diposting pada 454 views

Selasa, 01 Maret 2022 atau 27 Rajab 1443 H, Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q menyelenggarakan peringatan hari yang bersejarah dalam sejarah keislaman yaitu Peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. Di antara rangkaian acara tersebut yaitu ada simaan Alquran, takhtiman, doa bersama dan dengan acara puncaknya yaitu pengajian Isra Mikraj. Simaan Alquran telah dilaksanakan sehari sebelum puncak acara (Senin, 28 Februari 2022). Kemudian pada selasa, tepatnya setelah maghrib acaranya takhtiman dan doa. Kemudian makan bersama di Mushala Barat Komplek Q. 

Pada kesempatan kali, pembicara pada Pengajian Isra Mikraj oleh Bapak Ikhsanudin. Beliau, mengambil i’tibar (mengambil pelajaran) dari kisah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. pada masa lalu. Sebelum itu beliau menceritakan kembali secara singkat tentang peristiwa Isra Mikraj. 

Isra Mikraj terjadi pada malam ke 27 Rajab pada tahun ke dua belas kenabian, satu tahun sebelum Rasul hijrah ke Madinah. Tahun tersebut disebut dengan ‘am huzni (tahun kesedihan). Rasulullah bersedih karena pendukung-pendukung beliau yaitu pamannya Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah meninggalkannya. Kemudian Rasulullah mendapatkan hiburan atau tasliyah dari Allah yaitu di Isra Mirajkan. Dalam perjalanan Isra Mi’raj, Rasulullah berjalan melewati sekian alam. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa ini dinamakan perjalanan alam nasub (alam Dzahir/nyata), perjalanan dari Masjidil Aqsa naik sampai langit ketujuh namanya alam malakut (alam Malaikat), setelah langit ketujuh Rasulullah berjalan menuju alam yaitu alam Lahut (alam Ketuhanan) di mana alam ini malaikat tidak mampu memasukinya. 

Baca juga Berlalu dan Kusesali

Pelajaran atau i’tibar yang dapat kita ambil dari penggalan kisah Isra Mikraj ini adalah ketika kisah Isra Mikraj diceritakan kepada orang Quraisy, mereka terpecah belah menjadi 3, yaitu: (1) golongan orang mukmin yang langsung percaya, contohnya Abu Bakar (2) golongan orang yang tambah ingkar, contohnya Abu Lahab, dan yang (3) golongan tengah-tengah. Namun, Nabi dapat membuktikan kisah Isra Mikraj ini dengan bisa menceritakan kafilah dagang yang sedang berjalan dari palestina menuju Makkah. 

Baca Juga:  Surga dan Neraka (3): Tiga Bentuk Kesadaran dalam Islam

Inilah pelajaran pertama dari peristiwa Isra Mikraj bahwa dalam beragama tidak semuanya harus bisa kita rasionalisasi. Ada wilayah yang namanya iman. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan “Seandainya agama harus bisa dirasionalisasi maka harusnya mengusap kedua khuf itu yang diusap bawahnya bukan atasnya. Tetapi dalam fikih dan hadis ketika mengusap kedua khuf yang diusap adalah bagian atasnya sepatu”

Dalam Islam itu ada namanya tauqifi dan ta’abbudi. Kalau sifatnya ibadah kita ikut saja dan lakukan dengan sempurna. Kalau berhubungan dengan iman kita percaya ilmu tentang iman itu, tetapi ada wilayah di mana kita harus menggunakan rasio. Maka, ada yang mengatakan bahwa perjalanan Makkah menuju Masjidil Aqsa adalah perjalanan keilmuan sedangkan perjalanan Masjidil Aqsa sampai Sidratul Muntaha adalah perjalanan ruhani.

Baca juga Isra Mikraj: Perjalanan Malam Yang Mempertemukan Dua Kekasih Yang Saling Mencintai

Sebelum Isra Mikraj ada peristiwa pembelahan dada Nabi. Ini adalah peristiwa pembelahan dada Nabi yang kedua untuk dibersihkan hatinya. Kemudian pendatangan bejana emas yang isinya yakin, iman, hikmah, ilmu, dan kebijaksanaan. Malaikat Jibril memasukkannya ke dalam dada Nabi dan menutupnya kembali. I’tibar yang bisa kita ambil adalah bahwa Rasulullah sampai Sidratul Muntaha melebihi derajatnya para malaikat sebabnya karena Rasulullah memiliki hati yang bersih. Sehingga dalam hidup ini, Allah melihat pertama kali hambanya adalah hatinya, baru yang kedua adalah amalnya. Nabi saw bersabda:

إنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وَ لَا إلى أجْسَامِكُمْ ولكن الله يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Allah tidak melihat bentukmu, tidak melihat fisikmu, tetapi yang Allah lihat adalah hatinya dan amal shalihnya. 

Sehingga pertama kali yang harus kita perbaiki adalah hati kita. Kalau hatinya baik maka semua akan baik, kalau hatinya buruk maka semua akan buruk. Di dalam tasawuf ada yang namanya tazkiyatun nafs yaitu bagaimana membersihkan jiwa, ruhani, hati. Tahapannya yaitu riyadhotun nafsi melatih dan menata hati kita. 

Baca Juga:  Puasa sebagai Sarana Riyadloh

Lalu, bagaimana cara kita mendeteksi adanya penyakit di dalam hati kita?

Di dalam kitab Mauidhotul Mu’minin terdapat penjelasan tentang cara mendeteksi penyakit hati yaitu ada 4 cara, di antaranya:

  1. Guru yang mengetahui ilmu tentang nafs (jiwa).
  2. Teman yang benar-benar teman (shodiq) yaitu teman betul-betul mau ikut memperbaiki hati kita. 
  3. Majelis ilmu.
  4. Musuh-musuh kita.

Inilah pelajaran kedua dari peristiwa Isra Mi’raj yaitu latihan tazkiyatun nafs, latihan membersihkan hati bagaimana hati kita diisi dengan akhlak yang mulia, dihilangkan akhlak-akhlak yang tercela. 

Baca juga Ki Ageng Selo: Sang Penangkal Petir

Peristiwa ketiga yang dapat diambil i’tibar adalah ketika Isra Mikraj itu Nabi mendapatkan oleh-oleh dari Allah, yaitu salat. Salat adalah satu-satunya ibadah yang langsung Allah perintahkan kepada Nabi. Salat juga adalah satu-satunya ibadah yang tidak ada keringanannya. Pelaksanaan salat wajib bagaimanapun kondisinya selagi masih memiliki nyawa dan akal yang sehat harus tetap kita lakukan. Oleh karena itu, ada shalat ketika sakit, ketika perang (shalat khouf), dan lain-lain. 

Apapun bisa terselesaikan dengan salat. Salat ini jika sudah bisa menjadi barometer kehidupan kita, maka salat kita menjadi baik. Sehingga, apapun masalah yang kita hadapi maka pelariannya adalah ke salat dengan menghadap Allah, melaporkan dan bermunajat segala masalah kepada Allah. Maka salah satu yang harus kita jaga adalah salat dengan mendalami ilmu salat secara dhohir dan batin. 

Inilah pesan yang paling penting dari peristiwa Isra Mikraj adalah menjaga salat. Ilmu dzahir (ilmu fikih) yang mantap sekaligus berlatih ilmu batin yaitu ilmu menata hati, menata kekhusyu’an, kekhudhu’an, dan ketadhlalulian serta munajat kita kepada Allah SWT.  mampu mendukung dalam menjaga salat.

Oleh : Eka Novitha Utami

Photo by Izuddin Helmi Adnan on Unsplash