Semenjak pertama kali masuk ke Indonesia pada Maret lalu, virus Covid-19 terus menyebar tanpa kompromi ke berbagai penjuru negeri dan menyebabkan pemerintah harus menaikkan status keberadaan virus ini sebagai sebuah pandemi. Melihat keadaan yang tak kunjung membaik mendekati datangnya bulan suci Ramadan, pemerintah baik pusat maupun daerah bersama dengan berbagai ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama bahu-membahu melakukan berbagai upaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Dilansir dari akun instagram resmi NU, @nahdlatululama, PBNU mengeluarkan surat edaran pada tanggal 3 April 2020 M atau 9 Sya’ban 1441 H dengan nomor 3953/C.I.034/04/2020 sebagai tindak lanjut dari surat instrukti sebelumnya. Salah satu isi surat edaran ini berbunyi, “.. menjalankan shalat tarawih selama bulan Ramadan dan salat Idul Fitri selama pandemi Covid-19 di rumah masing-masing atau sesuai protokol pencegahan penyebaran Covid-19 yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah masing-masing.”
Tujuan dari imbauan di atas ialah untuk menegakkan salah satu maqasid asy-syari’ah yakni hifzun-nafs atau menjaga jiwa, mengingat penyebaran virus ini terjadi salah satunya akibat adanya kerumunan massa. Pada saat seperti ini, umat muslim harus sadar bahwa menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain jauh lebih penting daripada memaksakan tetap beribadah tarawih secara berjamaah di masjid, namun justru membawa madharat.
Pelaksanaan tarawih #dirumahaja tidak akan mengurangi keutamaan bulan suci Ramadan, apalagi sampai berarti meninggalkan masjid. Pelaksanaan tarawih di rumah sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat Islam, karena pada masa Rasulullah, beliau melakukan salat tarawih secara mandiri di rumah bersama dengan istri tercinta, Aisyah.
Sejarah mengenai tarawih di rumah pada zaman Rasulullah dapat ditemui dalam berbagai kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya. Dikisahkan dari Aisyah RA, pada 10 malam terakhir di suatu Ramadan, Rasulullah rutin melaksanakan tarawih berjamah bersama para sahabat di masjid. Sahabat yang sebelumnya tidak mengikuti tarawih berjamaah dengan Rasulullah segera berbondong-bondong ke masjid. Pada malam ketiga, masjid penuh sesak oleh jamaah yang hendak shalat tarawih, namun setelah menunggusekian lama, Rasulullah tak kunjung datang.
Ketidakhadiran Rasulullah ternyata bentuk kasih sayang serta perhatian kepada umatnya, beliau khawatir Allah SWT. akan menurunkan wahyu yang menjadikan shalat tarawih menjadi wajib. Akhirnya, semenjak saat itu pelaksanaan shalat tarawih dilakukan secara sendiri-sendiri baik di rumah maupun di masjid. Barulah pada masa Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, beliau menyerukan kepada masyarakat untuk salat tarawih berjamaah guna menghidupkan bulan suci Ramadan. Hal ini dikarenakan Rasulullah telah wafat sehingga kekhawatiran mengenai wahyu yang mewajibkan salat tarawih juga sudah tiada.
Dengan demikian, melaksanaan tarawih secara mandiri di rumah berarti kita sedang mengikuti sunnah nabi. Dengan kata lain, kita meninggalkan satu sunnah demi menuju sunnah yang lain. Selain itu, kondisi yang demikian juga bukan alasan menurunnya kualitas dan kuantitas ibadah. Sebaliknya, justru kondisi ini seharusnya menjadi momentum agar kita senantiasa taqarrub kepada Allah SWT meminta perlindunganNya agar pandemi ini segera berlalu.
Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/118856/imbauan-untuk-tarawih-di-rumah-sesuai-dengan-sunah
https://islam.nu.or.id/post/read/118996/sejarah-shalat-tarawih-di-rumah-pada-zaman-rasulullah-saw
–
Oleh: Nur Kholifah
–
Foto: freepik.com