“Menjadi keberuntungan bagi kita yang bisa bertemu langsung dengan beliau, begitu juga santri yang tabarrukan di Komplek Q, mengaji kepada murid-murid beliau. Semoga keberkahan senantiasa diberikan kepada Ananda semua.”
Dr. KH. Hilmy Muhammad Hasbulloh, MA .
Dalam mau’idoh hasanah-nya, Dr. KH. Hilmy Muhammad Hasbulloh, MA. menyampaikan suatu hadis, yang artinya: “Kepada siapapun yang mau berbakti kepada leluhur, orang tua maupun guru maka nanti anak-anak dan muridnya itu juga akan berbakti.” Begitu juga dengan haul, kita menggali kecintaan kita terhadap apa yang menjadi tindak tanduk kebaikan. Dengan mengadakan haul, kita menggali niat komitmen untuk meniru apa yang sudah menjadi teladan baik.
Imam Syafi’i pernah berbicara, “Saya senang dengan orang yang saleh, meskipun saya bukan orang saleh. Semoga dengan kecintaan saya kepada orang yang saleh maka saya akan mendapatkan syafa’at dari beliau-beliau.” Hal ini menjadi alasan mengapa kita harus melaksanakan haul. Jika kita mencintai orang saleh, dengan begitu kita berusaha mendapatkan pertolongan syafa’at dari orang saleh tersebut.
Kiai Hilmy juga menuturkan bahwa Allahuyarham Kiai Hamid pernah ngendiko, “Jika tidak bisa pergi sendiri, jika Anda tidak bisa menjamin amal Anda sendiri itu bisa masuk surga, maka ikutlah. Ikut kepada orang saleh, orang baik, para kiai, para masyayikh. Istilah santri, gondelan sarung kiai (pegangan sarung kyai). Mengapa ? Karena mereka adalah waraqotul anbiya, pewaris para nabi. Mereka sebagai pewaris nabi tentu saja mendapatkan izin memberikan syafaat kepada para pengikutnya.”
Inilah pentingnya haul. Berkat haul ini kita mengambil pelajaran yang baik dari Mbah Yai Warson dan kebaikan beliau itulah yang kita teladani. Hal ini yang dimaksud dengan “ingatlah atau sebutkanlah kebaikan-kebaikan leluhur kalian yang wafat, yang dengan itu kita mempunyai komitmen untuk melanjutkan cita-cita orang yang melakukan kebaikan.”
Berbicara tentang kamus Al-Munawwir, kamus tersebut menjadi kamus yang sangat istimewa. Berkah dan manfaat yang diberikan dirasakan oleh semua orang. Kamus ini menjadi tinggalan yang telah diwariskan kepada kita semua.
Baca Juga : Komplek Q Gelar Haul ke-8 KH. A. Warson Munawwir secara Virtual
Beliau Kiai Hilmy bercerita, terdapat sebuah kamus bernama Kamus Lisan. Orang menyebutnya sebagai ‘Ummul Ma’ajim al ‘Arobiyah, induknya kamus Arab. Kamus ini digunakan dalam berbagai literatur, baik kumpulan sejarah, kumpulan lagu, dan lain-lain. Kemudian diringkas oleh Imam Alfairuzzabadi yang hasilnya bernama kamus Al-Muhith. Al-Maghfurlah Kiai Warson ingin menyusun kamus dari sebelum Kiai Fairuz dilahirkan—putra pertama Al-Maghfurlah Kiai Warson. Karena sangat senangnya, putra beliau dinamakan ‘Fairuz’, dengan maksud tafa’ul kepada sohibul qomus. Kemudian terdapat seorang pendeta yang bernama Louise Ma’luf yang meringkas kamus Al-Muhith yang diberi nama Munjid. Akan tetapi, karena dia bukan muslim, maka khazanah keislaman yang ada di kamus Al-Muhith dihilangkan.
Kamus Al Munawwir merupakan ringkasan dari lisanul ‘arob, kamus Al-Muhith, dan Munjid sehingga kamus Al-Munawwir menjadi kamus intelektual. Kamus Al-Munawwir digunakan di seluruh belahan dunia. Mengenai proses pembuatan kamus, tentunya tidaklah mudah, membutuhkan ilmu yang tinggi karena membuat kamus artinya merangkul segala kajian keilmuan. Selain itu, membutuhkan ketekunan, kerajinan, dan kecermatan.
Oleh: Iqna Isti’nafiyah