Ustadz Faik Muhammad atau yang akrab disapa dengan Gus Faik. Dalam acara Awwalussanah yang diselenggarakan oleh Madrasah Salafiyah III, PP. Al-Munawwir Komplek Q, beliau membuka kuliah umumnya dengan maqolah yang disampaikan oleh Bapak- sapaan akrab KH. Ahmad Warson Munawir- dalam sebuah sambutan di sebuah buku bahwa, “Santri yang tidak mengenal pesantren dan gurunya adalah santri yang tidak baik.” Oleh karena itu, beliau mengenalkan asal-usul pesantren dan silsilah para masyayikhnya dengan mengangkat tema “Jejaring Keilmuan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta”.
Sebagai awalan, Gus Faik mengisahkan silsilah daripada pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, yakni beliau Al-Maghfurlah KH. M. Moenawwir bin Abdullah Rasyad. Dikisahkan bahwa kakek beliau, yakni Kyai Hasan Basori merupakan seorang penasehat daripada Pangeran Diponegoro. Selepas Perang Diponegoro usai, Kyai Hasan Basori berkeinginan untuk menjadi penghafal Al-Qur’an sehingga beliau melakukan riyadlah berjalan di atas air sambil nderes Al-Qur’an selama sepuluh tahun. Setelah itu, beliau mendapat ilham yang mengatakan bahwa beliau akan sulit menjadi seorang penghafal Al-Qur’an dan kelak keturunannya lah yang akan mampu menjadi penghafal Al-Qur’an- yang ternyata beliau ialah KH. Moenawwir.
Sebagai seorang Mahaguru Al-Qur’an di Nusantara yang memiliki keilmuan yang sangat luas, tentunya tidak lepas dari guru-guru yang mendidik beliau sehingga menjadi pribadi yang luar biasa. Setidaknya, ada tiga guru besar yang membentuk keilmuan Simbah Moenawwir, yakni KH. Kholil Bangkalan yang sangat memengaruhi dalam bidang tasawuf, Kyai Soleh Darat yang memengaruhi dalam ilmu tafsir, dan Kyai Abdurrahman Watucongol yang memengaruhi dalam bidang fikih.
Dalam hal menghafal Al-Qur’an, ada berbagai versi yang berbeda. Ada yang meriwayatkan bahwa Simbah Moenawwir menghafal Al-Qur’an ketika masih di atas kapal ketika dalam perjalanan ke Makkah dan ada yang meriwayatkan beliau menghafal ketika sudah sampai di Makkah. Beliau menghafal dalam waktu 30 hari atau satu bulan. Dalam riwayat lain 40 hari. Di Makkah, beliau fokus mendalami Al-Qur’an dan belajar kepada banyak sekali guru Al-Qur’an di sana.
Selanjutnya, Gus Faik menekankan pentingnya sanad dalam menuntut ilmu bagi para santri. Jejaring keilmuan Pondok Pesantren Krapyak di samping langsung dari muassis-nya, yakni Simbah Moenawwir, tetapi juga dikembangkan oleh putra-putri atau dzurriyyah-nya. Dari jejaring tersebut, maka beruntunglah kita sebagai santri Pondok Pesantren Krapyak karena Insyaallah sanad keilmuan dari para guru-guru kita sampai kepada Rasulullah saw.
Baca juga
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
- Puncak Harlah Komplek Q Ke-35
Sebagai santri, sudah semestinya mencintai guru kita. Maka, sebagai santri Bapak Warson, sudah seharusnya kita menunjukkan rasa cinta itu dengan cara membaca sejarah hidup atau biografinya, meneladani apa-apa yang dirintis dan dilakukan oleh beliau. Karena ketika kita ingin menjadi seperti seseorang yang kita cintai, maka kita juga harus mengikuti langkah apa yang mereka lakukan- dalam hal ketika menuntut ilmu.
Gus Faik juga menekankan pentingnya mahakarya Bapak, yakni Kamus Al-Munawwir sebagai masterpiece yang digunakan oleh seluruh kalangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika kita pernah mendengar istilah, “ilmu itu harus dilakoni, dan setiap laku harus diilmuni,” maka kita bisa mengambil pelajaran dari Bapak bahwa setiap ilmu harus di-Kamus Al-Munawwir-i, karena melalui kamus itulah alat atau wasilah bagi kita agar dapat memahami isi dari kitab-kitab atau teks-teks Arab yang kita pelajari.
Sebagai penutup, Gus Faik menyampaikan bahwa Bapak merupakan seorang ulama besar yang memiliki kepribadian luhur dan sangat sederhana. Sebagai seorang kyai besar, beliau sangat tawadhu’, rendah hati, dan tidak menampakkan ke-kyai-annya. Beliau sangat pandai membawa dan menempatkan diri sesuai dengan tempatnya. Maka sebagai santri beliau, kita sudah seharusnya meneladani sifat-sifat beliau agar kita mampu meraih keselamatan, baik di dunia hingga akhirat kelak.
Oleh: Nur Kholifah