Lama vs Baru, sebuah Refleksi (1)

Diposting pada 45 views

Perbincangan tentang benturan tradisional dan modern sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu (kalau tidak dikatakan baheula). Entah itu tentang tradisional yang memegang adat lama terlalu erat, atau si modern yang memaksa masuk dengan dalih “kita udah di zaman apa, masbro?”. Fenomena sama ketika kita berdebat dengan orang tua ketika memilih jurusan, ini dan itu. Hehe. Oke, tapi disini fenomena itu kita kaitkan dengan benturan antara tafsir tradisional dan modern kontemporer ya!

Ada film bagus garapan Stephen Fung yang mengilustrasikan tentang hal tersebut. Judulnya Tai Chi Zero dan Tai Chi Hero. Film yang diproduksi pada 2012 ini mengambil setting di Desa Chen, Beijing. Film tersebut menceritakan tentang bagaimana tradisional (Kungfu Chen) dan modernitas (teknologi) saling bertabrakan. Masyarakat Desa Chen keukeuh untuk memegang adat lama, tidak mau tersentuh teknologi. Sedangkan pemerintah menginginkan rel kereta api dibangun dengan melewati daerah tersebut. Kereta api ini diharapkan mampu membantu masyarakat untuk sampai ke tempat yang jauh dengan menghemat waktu. Karena hal ini, masyarakat melawan pemerintah dengan kungfu-nya, sedangkan pemerintah melawan dengan senjata produk baratnya. Untuk melihat bagaimana benturan asli atau akhir dari cerita tersebut, pembaca yang budiman bisa mengkhatamkan dengan menontonnya secara langsung, tidak dengan spoiler ini ya hehe

Sama halnya dengan hal tersebut, tafsir al-Qur’an juga mengalami benturan antara tradisional dan modern. Zaman yang semakin edan, keilmuan yang semakin berkembang, permasalahan yang tambah kompleks dan absurd, juga tantangan modernitas lain yang mendorong untuk memahami al-Qur’an (melalui tafsirnya) sesuai dengan konteksnya. Tafsir akan dan harus terus berkembang masbro. Meminjam istilah Dr. H. Abdul Mustaqim, al-Qur’an adalah teks yang statis (tetap) sedangkan kondisi kita adalah sesuatu yang dinamis (berubah-ubah), maka seperti itulah saat ini. al-Qur’an memang teks yang tidak berubah, tapi tafsirnya bersifat relatif. Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak akan berubah, sedangkan tafsir adalah kreasi manusia. Maka bagaimana para pemeluknya menjalani kehidupan tetap sesuai dengan ajaran agama? Apakah dengan tafsir pada konteks dahulu?

Baca Juga:  Sorogan atau Nyorogi?

Kita gabisa melulu mengikuti pendapat ulama zaman dahulu kalo emang konteks zamannya udah berubah. Iya ga lur?

Semakin berkembangnya zaman, tentu saja perkembangan tafsir itu memiliki tantangan. Dalam mengembangkan tafsirnya, tafsir itu sendiri harus tetap sejalan dengan sumber penafsiran. Kalau dulu tafsir hanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadist (ada juga yang nambah pakai logika), kalo zaman sekarang tafsir harus mengkuti realita zaman. Yang terpenting adalah tidak keluar dari batas-batas syariat. Garis bawah ya.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada Fang Zi Jin ketika hendak meminta izin membangun rel kereta api di desa Chen mendapatkan perlawanan, hal yang sama juga terjadi pada si tafsir. Meskipun tidak bisa dikatakan sebagai perlawanan sih, pernah ada cerita ketidaksetujuan ulama sepuh tradisional pada tafsir dengan corak keilmuan tertentu. Kenapa? Karena keilmuan tersebut masih dipandang sebelah mata saat itu. Misalnya, tafsir dengan corak filsafat.

Adanya pembaharuan dalam penafsiran, atau bisa dikatakan dalam era modern kontemporer sebenarnya menegaskan bahwa al-Qur’an iku shalih likuli zaman wa makan, sesuai di segala waktu dan tempat. Selain itu,  tafsir era modern juga lebih flesksibel, lepas dari fanatisme golongan. Beberapa tafsir zaman dulu ada yang mementingkan golongan, jadi ya penafsirannya berbau idealisme golongan tersebut. Oleh karena itu, menurut hemat saya, tradisional dan modern seharusnya berjalan berdampingan. Nek apik dan sesuai ya dijupuk. Saya setuju dengan ‘Menjaga adat lama yang baik, dan mengambil adat baru yang lebih baik’. Nilai-nilaitradisional tetap harus dipegang, tapi kemodernan adalah suatu keniscayaan.

(Tulisan Bersambung….)

Selamat Natal bagi teman-teman Kristiani yang merayakan!!

Oleh : Ma’unatul Ashfia

Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels