Mengenang KH. Ali Maksum: Metode Sorogan yang Tak Lekang oleh Waktu

Diposting pada 319 views

Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak baru saja memperingati Haul Al Maghfurlah KH. Ali Maksum yang ke-31 pada Sabtu, 4 Januari 2019. Mengenang keteladanan beliau, Tim Redaksi Komplek Q mewawancarai salah satu murid beliau, yakni Drs. KH. Muslih Ilyas—pengasuh Pondok Pesantren Mbangun Jiwo, Bangun Jiwo Kasihan, Bantul.

Setelah lulus dari Lirboyo, KH. Muslih Ilyas mendapat saran dari Mbah Hamid Pasuruan untuk melanjutkan belajar kepada KH. Ali Maksum. Hanya berbekal doa dari orang tua, beliau sowan untuk nyantri di sana. Bapak Muslih—begitu biasanya beliau dipanggil—nderek Mbah Ali (KH. Ali Maksum) sekitar 10 tahun. Dalam masa nyantrinya ini, Bapak Muslih menjadi santri ndalem yang mengurusi masalah dapur hingga mendapat julukan sebagai Ketua DPR (Dapur). Julukan ini rupanya menjadi doa karena beliau benar-benar menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta periode 2014-2019 dari partai PPP.

Menurut penuturan beliau, Mbah Ali sangat menekankan santrinya dalam hal sorogan. Sorogan adalah kegiatan membaca kitab kuning kosong yang dilakukan oleh santri di hadapan guru. Kegiatan ini menjadi fokus utama Mbah Ali dibanding kegiatan lainnya seperti jamaah. Bahkan, santri yang tidak mengikuti sorogan secara langsung akan dipanggil lewat speaker. Padahal, speaker tersebut terhubung dengan seluruh musholla di daerah Krapyak.

Dalam proses sorogan tersebut, Mbah Ali memiliki metode khusus tersendiri. Santri yang sorogan diwajibkan untuk menyalin kitab yang akan disetorkan. Tidak hanya ta’bir-nya saja, tapi juga makna pethuk-nya. Setelah ditulis dan dibaca, santri membaca kitab kosongan di hadapan guru. Hal ini bertujuan agar santri membaca berulang-ulang kitab tersebut, karena dalam proses menyalin, menulis makna, dan membaca di hadapan guru mau tidak mau santri pasti membacanya.  Sorogan dengan metode seperti ini rupanya menjadi metode warisan yang banyak dipraktikkan di komplek-komplek Pondok Pesantren al Munawwir, termasuk Komplek Q sendiri.

Baca Juga:  Ramadan: Momentum Kepergian KH. Hasyim Asy'ari

Mbah Ali juga dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian kepada santri-santrinya. Pada masa itu, santri yang belajar kepada Mbah Ali jumlahnya banyak, tapi masing-masing santri merasa diperhatikan. Selain itu dalam mengambil keputusan, Mbah Ali selalu menanyakan pendapat masing-masing individu dalam forum tersebut. Pernah suatu ketika, saat hendak mengunjungi salah satu pondok besar di Jombang beliau meminta pendapat santri-santrinya yang nderekke beliau. Kebetulan, kiai dari pondok yang akan dikunjungi adalah kader partai Golkar. Pada waktu itu, mendukung partai Golkar di kalangan Kiai adalah hal yang tabu. Mbah Ali menanyakan pendapat terkait hal ini kepada santrinya, salah satunya Bapak Muslih. Bapak Muslih memberikan pendapat bahwa mengunjungi pondok tersebut dengan keadaan yang seperti ini akan menimbulkan salah paham di kalangan Kiai yang lain. Dengan alasan yang dirasa rasional, Mbah Ali kemudian membatalkan kunjungannya. ‘Wes ra usah, Muslih ra gelem’. Hal ini sempat membuat Bapak Muslih merasa bersalah, akan tetapi bagaimana Mbah Ali menghargai pendapat santrinya menjadi hal yang paling berkesan.

Dalam memberi hukuman kepada santri-santrinya, Mbah Ali juga memiliki cara yang unik. Pada saat bulan Romadlon, Mbah Ali membuat jamaah tarawih sendiri khusus santri yang ditakzir. Tarawih ini dilakukan dengan sangat cepat sebab surah yang dibaca hanya 1 ayat tiap rokaat. Ketika Masjid Al Munawwir mengumandangkan iqamah Isya, tarawih Mbah Ali sudah selesai dilaksanakan. Banyak santri lain yang diam-diam ikut tarawih ini, akan tetapi selalu diusir sebab bukan bagian dari santri yang ditakzir. Tarawih cepat seperti ini bertujuan agar santri-santri yang tidak pernah tarawih tidak merasa keberatan dan tetap melaksanakan tarawih. Namun pada akhirnya, santri-santri yang ditakzir itu sadar dan merasa diperhatikan.

Baca Juga:  Dahlan Iskan

Selain dikenal sebagai sosok yang perhatian, Mbah Ali juga seorang kiai yang tidak mau dibedakan santri-santrinya. Ketika bepergian misalnya, beliau tidur dan makan di tempat yang sama dengan santrinya. Selama masa nyantri sepuluh tahun itu, ada banyak hal berkesan dan menjadi pelajaran bagi Pak Muslih sendiri. Dalam pungkasannya, Bapak Muslih menuturkan bahwa sifat-sifat Mbah Ali yang demikian adalah hal yang sulit ditemukan pada Kiai-Kiai saat ini.

Oleh: Ma’unatul Ashfia