Surtini, seorang santri yang biasa-biasa saja. Cantik juga tidak, pintar juga tidak, semuanya standar. Dia menjalani kehidupan sehari-hari disuatu pesantren yang berada jauh dari hiruk pikuk kota.
Alasan orang tua Surtini memondokan anaknya di sana adalah agar Surtini dapat belajar hidup sederhana, agar Surtini tak lagi angkuh dan bisa menghargai orang lain.
Surtini, anak semata wayang keluarga besar pemilik tambang emas di daerah Kalimantan. Majikan yang angkuh, semena-mena, dan suka menghina asisten rumah tangga di rumahnya. Kini kehidupannya berbanding 180° terbalik dengan kehidupannya yang dulu. Tapi mau tak mau dia harus menjalani kehidupannya di pesantren. Karena itu adalah salah satu syarat dia mendapatkan harta warisan.
Waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Senja mulai menyapa dengan ceria, dengan senyum yang tergambar lewat semburat jingga. Ada yang selalu setia menunggu senja sampai kembali beristirahat di batas cakrawala, di timur yang Maha Kuasa. Ya dialah Surtini.
“Kalau senja bisa senyum pasti akan aku balas”, ungkap Surtini yang sedang galau.
Dengan membawa beberapa peralatannya seperti kamera handphone, pena, dan buku, setiap sore Surtini selalu nongkrong di lantai tiga, tepatnya di jemuran pondok. Walau hanya untuk sekedar menikmati matahari yang terbenam, katanya dia selalu mendapatkan banyak inspirasi setelah melihat matahari terbenam itu. Entah itu inspirasi untuk membuat sebuah puisi, inspirasi untuk menulis tugas akhirnya–yang akhir-akhir ini terbengkalai, atau sekedar untuk melupakan masalah-masalah yang sedang ia hadapi.
“Suuuur, Suuur, Surtiniiiii dipanggil Bu Nyai, disuruh ke ndalem”. Panggil Diva dengan suara tinggi nan nyaring.
“Gausah mbengok-mbengok, aku denger kok” jawab Surtini dengan lemas.
Lagi-lagi dia dipanggil Bu nyai (sekedar informasi Surtini masih ada hubungan saudara dengan Bu Nyai). Minggu ini sudah tiga kali Surtini dipanggil ke ndalem–rumah Bu Nyai.
“Tadi mami-mu telpon, kamu mau dijodohkan dengan Gus Idris”, ucap Bu Nyai sembari membaca buku.
“Apaaaaa? Tapi Bude, Tini kan masih kecil dan Tini masih ingin mengaji. Lagian Tini juga belum kepikiran menikah”, jawab Tini dengan kesal. Bude merupakan panggilan Tini kepada Bu Nyai.
“Ya justru itu Surtini anak manja, Gus Idris akan membimbing kamu agar bisa semua hal. Kami sudah berdiskusi masalah ini dengan keluarga besar dan mereka semua setuju. Ijab qobul akan dilaksanakan Jumat siang setelah shalat Jumat berjamaah”. Ucap Bu Nyai dengan tegas dan mantap.
“Tapi Surtini belum menjawab iya atau tidak, keputusan macam apa ini”. Surtini berlari keluar dari ndalem sambil menangis. Perasaan kesal, marah, kecewa bercampur menjadi satu. Seolah-olah mimpi Surtini hancur seketika.
Surtini memenangkan dirinya di lantai tiga, di lorong jemuran, tempat favoritnya. Tanpa disadari Surtini sudah menangis lebih dari satu jam. Tiba-tiba . . .
***
“Surtiniiii. Ya ampun, kenapa malah tidur lagi ini anak. Kan mami udah bilang abis sholat subuh jangan tidur lagi. Jadi telat kan kita. Kita harus berangkat ke pesantren pagi ini juga. Bude Amy pasti udah nungguin”. Ucap mami Surtini dengan panjang kali lebar kali tinggi.
“Ya ampun, mamiiii aku ga mau dijodohin sama Gus Idris dan aku ga mau mondok nih”. Jawab Surtini sambil memeluk maminya.
“Gus Idris, dijodohin. Hmmm ini nih akibat tidur abis subuh nih. Mimpinya ga jelas kan”, ucap mami Surtini.
Dalam hati Surtini, “AKU CUMA MIMPI? HAHAHA?” Akhirnya Surtini-pun diantar maminya untuk mondok disuatu pesantren milik Budenya di daerah Situbondo, Jawa Timur.
Pesannya: Jangan tidur habis subuh
By : Vivi Rinardi