Separuh Aku Adalah Rindu

Diposting pada 106 views

Malam kian menggelap aku masih menyusuri jalanan sepi sendiri, melewati lorong sempit ditemani lampu bohlam yang remang-remang. Rasa takut kian menghimpit, namun aku harus terus berjalan melewati segala kemungkinan sendirian.  

***

Namaku Yusrin, teman-teman lebih sering memanggilku ririn, aku memang cukup tomboi, terlihat arogan, dan tak berperasaan. Aku layak disamakan dengan penampilan para preman jalanan. Namun, taukah kau? Aku adalah sirapuh bertirai besi.

Aku selalu terlihat garang di mata orang-orang. Tapi pada kenyataannya, aku tak cukup berani mengungkapkan sebuah rasa terpendam yang kian menghujam. Aku tak cukup  kuat untuk mengeluarkan sebatang pilu yang aku simpan sendirian. Aku memang lebih banyak diam, dengan rambut kuncir kuda dan setelan jeans plus kemeja kotak-kotak sudah cukup membuatku terlihat seperti perempuan jadi-jadian. Aku bahkan sudah tidak asing dengan sebutan “perempuan jadi-jadian”, menurutku tak perlu ambil pusing, toh itu hanya sebuah gurauan.

Sejak memilih merantau ke Ibu Kota, aku jarang sekali pulang bahkan sudah hampir tiga tahun aku belum pernah sama sekali menginjakan kaki pada tanah kelahiran. Di sini, aku bekerja sebagai montir di sebuah bengkel kecil, upah yang kudapat memang tidak terlalu besar, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhanku disini dan sedikit menabungnya untuk aku kirim pada mak dikampung. Aku tak harus membayar uang sewa kos atau kontrakan karena bosku menyediakan mess. Karena sebagian pekerja montir laki-laki, jadi aku tidak mungkin satu kamar dengan mereka bukan?. Karenanya aku satu kamar dengan asisten rumah tangga di sini, namanya Mbak Surti.

Mbak Surti ini baik banget, Cuma sedikit centil. Tapi ya bodo amatlah kan itu urusan dia, yang penting nggak ganggu aku dan nggak cari gara-gara sama aku. Dia asli orang Indramayu dan sudah lima tahun kerja di sini. Pemilik bengkel sekaligus majikan Mbak Surti ini memang royal orangnya, jadi tidak heran kalau yang kerja di sini rata-rata bisa bertahan lama diatas lima tahunan.

Baca Juga:  Ramadan di Pesantren

***

Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Sudah saatnya berkemas dan mengistirahatkan badan yang pegal-pegal dan sendi-sendi kaki yang enggan berjalan. Mataku sudah setengah sadar menahan kantuk, tapi beberapa peralatan belum selesai dibereskan. Karena Pak Iwan, montir senior tidak masuk hari ini dan beliau sedang pulang kampung . Anak bungsunya khitanan. Cukup kualahan tanpa Pak Iwan memang.

Pukul 11.00, aku selesai membereskan semuanya dan langsung aku menuju kamar. Kamarku memang menyatu dengan rumah bos, seperti yang aku bilang karena aku satu kamar dengan asisten rumah tangga rumah ini. Bengkelnya di samping rumah, jadi tidak perlu naik kendaraan. Cukup jalan kaki saja.

Aku langsung saja menuju kamar mandi membersihkan tubuh dari sisa-sisa oli, lalu bergegas naik ke atas ranjang. Malam ini  sedang tak selera makan apapun termasuk bakso favorit seberang jalan. Lima menit berlalu aku sudah terlelap. Saat tiba-tiba pintu diketuk, aku pun bergegas membukanya. Takk disangka ternyata yang datang adalah mak. Aku peluk mak erat dan aku cium tangannya. lalu ku persilahkan beliau masuk. Entah sejak kapan mak tiba-tiba sudah di depan kamarku. Belum sempat bertanya jam berapa mak dari sana, beliau justru sudah mengajukan pertanyaan lebih dulu. Mbak Surti juga tumben belum selesai dengan pekerjaannya karena sejak tadi aku belum melihatnya kembali ke kamar. Akupun mempersilahkan mak duduk.

“Pie kabare nduk?, nyapo ko ora tau muleh??” tanya mak sembari mengelus kepalaku.

“Sehat mak?, mak pripun kabare?? Hehe kan ben saged nabung to” jawabku.

“Aku yo sehat alhamdulillah nduk”, jawab mak dengan senyumnya yang amat bersahaja.

“Nduk, nyapo kudu ngoyo. Nek awakmu kesel, lireno disek. Mak ki sing penting awakmu sehat”, Masih dengan tangan beliau yang mengelus kepalaku.

Baca Juga:  Sekretaris Jenderal PBB

“Aku ki saben dino kepikiran awakmu, sehat ora, ws mangan durung, sholate kepie?” lanjut beliau.

“Kulo niki sehat terus, maem yo Alhamdulillah, sholat nggeh Alhamdulillah”, Jawabku 

“Nduk ojo mikiri omongane tonggo, nak awakmu mikiri terus ki ora ono rampunge”, Ucap mak padaku seakan tau isi hatiku.

(Klik page 2 untuk kelanjutannya)