Menjaga KalamNya

Diposting pada

Siang yang cukup mengharukan sama seperti tahun-tahun sebelumnya Pesantren Hamilul Qur’an rutin mengadakan acara Khotmil Qur’an bagi para santri yang telah mencapai target hafalan baik 10 juz, 20 juz, dan 30 juz. Acara tersebut dihadiri oleh para kiai dan nyai, serta wali santri baik dari para khotimat maupun masyarakat sekitar.

Tangispun pecah saat nama-nama para khotimat maju untuk menerima syahadah, dan puncak acaranya adalah khotimat bil hifdzi 30 juz yang mampu menyelesaikan dalam kurun waktu 2,5 tahun. Yang tentunya mereka masing-masing menyimpan banyak cerita dibalik perjalanan dalam menghafal Al-Qur’an. Ada tawa dan tangis yang cukup hebat untuk bersahabat dengan Kalam Allah.

Tak terasa acara demi acarapun telah usai. Via, Hana, dan Ida adalah khotimat 10 juz bil hifdzi yang baru saja diwisuda. Karena malam sudah mulai larut dan badan sudah mulai letih setelah acara selesai mereka langsung memasuki kamar untuk beristirahat. Via langsung membuka pembicaraan, “Selesai acara wisuda ini aku mau boyong”. Hana pun terkejut dan langsung menjawab, “Loh kenapa vi kok kamu mau boyong? kita kan belum selesai ngatamin Alqurannya” Tiba-tiba Ida yang dari tadi terdiam juga mulai angkat bicara, “Kita udah setahun nggak nglanjutin sekolah untuk ngabdi, apa kamu juga gak pengin nglanjutin sekolah ke universitas terkenal seperti anak-anak yang lain Han? dan ku rasa sekarang aku berada dititik jenuh, aku juga pengin boyong” Idapun menyetujui rencana Via.

Percakapan tersebut membuat mereka bertiga terdiam dan termenung, karena memang sudah menjadi peraturan pondok bahwa setiap yang memulai hafalan di sini harus selesai juga disini. Bahkan setiap selesai setoran ustadz tiada hentinya dawuh, “Suksesnya kalian ya kalau kalian bisa selesai di sini, bisa majelisan sekali duduk 30 juz, setelah itu kalau kalian mau pergi silahkan”. Maka dari itu banyak santri yang ta’dzim kepada dawuh ustadz tersebut, karena rida guru juga sangat dibutuhkan dalam proses menghafal Alquran.

Namun lain halnya dengan Via dan Ida, menurut mereka pendidikan formal pun sangat diperlukan karena untuk mendapatkan akhirat manusia juga membutuhkan dunia. Karena obsesi itulah mereka ingin segera boyong dan melanjutkan pendidikan formal seperti anak-anak yang lain. Bayangan mereka, toh mereka juga bisa melanjutkan hafalan mereka di tempat baru mereka sehingga hafalan mereka akan terus berlanjut dan di samping itu pendidikan formal pun mereka dapatkan.

Setelah sholat ashar Ida dan Via kembali merencanakan proses boyong mereka. “Eh gimana nih kamu berani gak Vi matur ke ustadz untuk boyong” ujar Ida sambil melipat mukenah. “Aku akan matur besok habis dhuhur aja soalnya bapakku sampai di sini besok pagi kayaknya deh” Via menjawab sambil mengira-ngira kapan bapaknya sampai di pondok. “Wah besok toh, kalau aku ikut kamu aja gimana Vi soalnya bapakku gak bisa ya karena kamu taulah rumahku jauh banget”. Ida langsung menunjukan raut wajah yang sedih. “Oke gakpapa Da besok bareng aku aja, kamu jangan sedih oke” jawab Via menghibur Ida. Mereka pun membayangkan bagaimana reaksi ustadz besok kalau mengetahui dua santrinya akan boyong.

***

Setelah sholat dzuhur mereka langsung menuju rumah ustadz untuk pamit boyong. Dan seperti yang telah dibayangkan mereka ustadzpun menjawab, “Bukannya dari dulu sudah ada peraturan nggeh, kalau belum selesai ya ndak boleh keluar. Tapi dari kami tidak berhak memaksa karena azzam kalian yang akan menjadikan kalian sukses dan seberapa kalian istiqomah untuk tinggal disini”. Mereka pun hanya duduk terdiam tidak berani berucap lagi, dan akhirnya ustadzpun memberi izin untuk boyong dengan syarat mereka harus menyelesaikan hafalan di tempat yang baru sampai selesai.

Hari terus berganti, tibalah mereka di tempat yang baru, pesantren baru yang semuanya tidak semudah yang mereka bayangkan, mereka harus ikut ujian masuk progam tahfidz  yang ketat walaupun mereka sudah mempunyai tabungan 10 juz. Memulai hafalan dari nol lagi karena sudah adat di tempat baru ini bahwa harus mengulang walaupun mempunyai tabungan dan mereka harus pintar menjaga hafalan yang sudah pernah di hafal agar tidak hilang.