Pelangi Indah

Diposting pada

Tahun lalu, tepat aku lulus dengan gelar S.Psi. Setelah lulus aku buntu hilang arah tak tahu harus pergi kemana, kurasa jalanan telah ditutup gelap tak ada cahaya. Hatiku kacau, otakku tak dapat berpikir seperti membatu di dalam. Pilihan yang begitu sulit untuk kujalani, antara patuh orang tua atau ikut dengan egoku. Setelah begitu banyak pertimbangan dan pengorbanan, kini kulawan egoku, kini saatnya aku berbakti kepada orang tua sebelum aku menyesalinya. Hati kecilku menjerit meronta-ronta pemenuhan egoku. Dari ilmu yang pernah kudapat bahwa apapun yang kita lakukan sebaik apapun jika orang tua tidak meridhoinya, itu semua hanya sia-sia hanya lelah yang kau dapat.

Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 WIB terdengar kentungan, tak lupa aku melaksanakan sholat malam yang biasa menjadi kegiatan wajib di pesantren. Aku teringat dengan egoku, aku ingin menyalurkan ilmuku mengamalkannya. Kuhanya memohon kepada Allah agar segera diberikan yang terbaik.

“Piarr!”

Seketika aku terbangun dengan menghampiri sumber suara tersebut. Dan kulihat ibu yang sudah tergeletak tak sadarkan diri, hatiku sakit melihatnya, derai hujan mengalir di pipiku. Langsung kubawa ibu ke rumah sakit, gelisah menerpa perasaanku. Bagaimana tidak, beliau adalah pahlawan sedari aku kecil. Beliau pertaruhkan hidupnya demi aku, orang belum pernah beliau kenal, orang yang belum pernah beliau melihatnya. Disaat seperti ini hanya lantunan doa yang kupanjatkan untuknya. Banyak selang di tubuh ibu yang membuat hatiku semakin sakit. Seketika aliran darahku berhenti, hujan terus membasahi pipiku tiada henti. Disaat seperti ini yang kuinginkan hanya mata ibu yang terbuka kembali untukku.

***

Hari ini, satu bulan sudah ibu berbaring dan tak sadarkan diri. Selang-selang masih melekat ditubuhnya.

“Kumohon ibu bangunlah, aku berjanji akan menuruti semua permintaan ibu”

Isak sambil memohon agar ibu bangun. Siang hari saat aku tertidur di samping ibu, ada suara yang memanggil namaku.

“Shofia”

Aku terhenyak bangun dan kulihat mata ibu terbuka dan tersenyum padaku, hati berbunga rasanya seperti telah mendapatkan sesuatu.

“Alhamdulillah, ibu sudah bangun. Ibu ingin apa biar Shofia ambilkan”

Ibu hanya tersenyum padaku, aku seperti orang linglung kebingungan.

“Ibu hanya ingin kamu selalu di samping ibu, nak”

Hujan pun kembali mengguyur pipiku, selama ini aku tidak peka bahwa ibu rindu akan anaknya yang tak selalu di sampingnya. Aku hanya menuruti egoku yang haus akan ilmu tanpa memikirkan orang yang sedang membutuhkanku. Mencintai ilmu tidak salah, namun juga harus melihat kondisi atau keadaan di sekitarmu mana yang lebih membutuhkanmu. Hujan pun ikut mengguyur pipi ibu. Aku pun seperti dihantam jauh ke laut yang luas hanya ada aku sendirian di laut itu, hatiku perih, dadaku sesak. Apa yang telah kuberikan pada ibu selama ini hanyalah rasa sakit yang beliau pendam.

“Ibu, kini saatnya anakmu ini berbakti membalas semua jasa ibu. Biarkan anakmu ini berkorban untuk Ibunya”

Ibu memelukku dengan erat, aku merasakan kerinduan pada pelukan ini. Betapa teganya aku selama ini meninggal beliau yang berjalan pun harus dengan susah payah, begitu mirisnya aku karena haus akan ilmu melupakan semuanya termasuk pahlawanku sepanjang masa.

“Shofia, usia ibu sudah tidak lama lagi. Ibu telah mempersiapkannya untukmu, ibu ingin melihatmu menjadi seorang istri”

Jantungku berdebar cepat, apa yang barusan ibu katakan membuat aku seperti akan melayang.

“Apa yang ibu barusan katakan? Shofia belum siap bu,”

Aku bingung apa yang harus aku lakukan, tapi aku sudah berjanji kepada ibu untuk menuruti apa yang diinginkan.

“Shofia, jangan kalah lagi sama egomu. Kapan lagi kamu bisa membuat ibumu bahagia!”

Hatiku seraya meronta memenuhi keinginan ibu. Pikiranku kosong, tak bisa berpikir, membeku.

Keesokannya, aku memberikan keputusan yang kupertimbangkan dan telah ku pikir matang-matang.

“Ibu, mengenai permintaan ibu yang kemarin, Shofia bersedia bu,”

Kulihat raut muka ibu yang begitu bahagia mendengar keputusanku. Hatiku ikut bahagia, rasa bahagia yang belum pernah kurasakan.

“Besok dia akan datang kesini untuk melamarmu nak,”

Harus secepat itukah, tapi janji haruslah ditepati. Aku berserah diri kepada Allah semoga ini yang terbaik, aku mencoba ikhlas untuk menerima semua. Aku hanya mengangguk atas apa yang barusan ibu katakan kepadaku.

Keesokan harinya, jam dinding menunjukkan pukul 19.00 WIB. Kurasa hari ini waktu berjalan lebih cepat dari hari biasanya. Hari ini, dia akan datang untuk melamarku, orang yang tak kukenal sebelumnya.

“Assalamualaikum”.

“Waalaikumsalam” aku dan ibu lansung menoleh ke arah pintu.

“Bagaimana keadaan ibu? Sudah membaikkah?”, tanyanya kepada ibu dengan lembut dan sopan.

“Alhamdulillah, sudah lebih baik nak. Kamu apa kabar? Sehatkan?”

“Alhamdulillah sehat bu,”

Sesekali dia melihat ke arahku, aku yang memasang wajah sinis, tapi malah dia membalas dengan anggukan dan senyuman. Penampilannya cukup meyakinkan bersarung, baju koko, dan songkok di kepalanya. Penampilan berciri khas para santri.

“Oh iya, Shofia ini nak Faruq. Nak Faruq, ini Shofia anak ibu yang pernah ibu ceritakan”

“Oh iya bu, saya ingat. Salam kenal Shofia”, aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.

“Shofia…Faruq..”, tiba-tiba napas ibu menjadi sesak, semua panik dan segera kupanggil dokter.

“Dokter…dokter..suster, tolong ibu saya”

Dokter pun datang dan segera memeriksa ibu. Aku dan Faruq menunggu di luar. Tak lama dokter keluar dari kamar ibu.

“Maaf dengan berat hati saya mengatakan ini, ibu mbak Shofia tidak akan dapat bertahan lebih lama. Kita hanya dapat menunggu kuasa Allah”

Emosiku sudah tidak dapat terkendali lagi, hujan semakin deras membasahi pipiku.

“Ibu bangun, Shofia masih rindu ibu, Shofia masih butuh ibu..”

“Shofia kamu yang sabar ya, kita doakan semoga ibu diberikan kesehatan lagi, kamu yang tenang. Kita doakan ibu”

Tak lama ibu terbangun dengan suara terbata-bata.

“Shofia.. Faruq sebelum ibu meninggal ibu ingin melihat kalian berdua menikah, ibu ingin menyaksikan anak ibu menikah”

“Ibu jangan banyak bicara dulu, ibu harus istirahat yang banyak”, aku mencoba mengalihkan pembicaraan ibu.

“Shofia, ibu mohon terima nak Faruq sebagai suamimu. Ibu telah menitipkanmu kepadanya, ibu akan pergi dengan tenang jika kamu menikah dengan nak Faruq. Penuhi janjimu pada ibu Shofia”, tangis pun pecah diantara aku dan ibu.

Apa yang kubisa perbuat selain menuruti permintaan ibu walau berat, namun ini waktunya aku menepati janjiku sebelum semuanya berakhir dengan penyesalan.

“Iya ibu, Shofia akan menepati janji Shofia kepada ibu”

Akad nikah pun terjadi di kamar inap ibu, walau berat tapi aku tetap mencoba tersenyum di hadapan ibu. Akad nikah pun telah usai, tiba-tiba ibu sulit bernapas. Aku mencoba memanggil dokter, namun ibu mencegahku. Dan ibu meminta Faruq untuk menuntun ibu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat telah ibu ucapkan dan tiba-tiba ibu tak sadarkan diri, Faruq mengecek pernapasan ibu. Dan ibu telah pergi meninggalkanku, rasa remuk mengguncang batinku, wanita berharga bagiku kini telah tiada dan tak lagi disampingku.

(next page)

***