Pagi yang cerah. Seragam putih abu-abu yang aku telah aku kenakan ini mampu membuat mataku enggan melepaskan pandangan.Aku menatap tubuh sendiri di depan cermin rias sambil menyisir rambut perlahan, rupanya aku ini sudah besar sekarang. Bukan anak kecil lagi.
Hari ini adalah hari pertama aku menduduki bangku sekolah menengah atas di sekolah baru, aku adalah murid pindahan. Ayahku telah ditugaskan ke daerah Malang, mau tidak mau aku harus pindah sekolah.
“Gawat! Jam tujuh lewat tujuh menit. Aku bisa telat!” ucapku panik.
Aku bergegas mengambil tas dan betpamitan dengan bunda yang sedang berada di ruang makan.
“Bun, aku berangkat ya!”.
“Eh, makan dulu Tam!” teriak bunda.
“Nanti aja Bun! Aku makan di kantin.”
Aku kembali berlari dan menghampiri pak kardi supir keluargaku.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ruang kepala sekolah. Setelah bertemu dengan beliau, aku diantar menuju kelas yang akan aku tempati untuk menimba ilmu selama 3 tahun kedepan.
“Anak-anak,tolong diam sebentar!” perintah wali kelasku memberi intruksi kepada penghuni kelas yang sedang asik mengobrol.
“Hari ini kita kedatangan murid baru. Ayo perkenalkan dirimu!” tuturnya ramah.
“Hai,selamat pagi. Perkenalkan nama saya Ayu Tamara. Kalian bisa panggil Tam, semoga bisa berkawan dengan baik.”
“Hai,Tam!” sapa mereka.
Setelah memperkenalkan diri, aku diperbolehkan duduk di bangku barisan ketiga, tepat di sebelah gadis berkulit gelap dan berambut keriting. Sepertinya dia pribadi yang tertutup.
“Baik, sekarang ganti pakaian kalian. Kita akan memasuki jam olahraga.” instruksi ketua kelasku.
Di lapangan.
Matahari hari ini sangat terik, seragamku sudah penuh dengan keringat, aku ini anak baru dan belum dapat seragam olahraga dari pihak sekolah, terpaksa aku mengikuti jam olahraga menggunakan seragam putih abu-abu ini.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan, teman sebangkuku sedang menyendiri di bawah pohon yang rindang. Mengapa dia tidak mau bergabung dengan kami? Maksudku dengan murid-murid yang lainnya yang sedang bersenda gurau di sisi lapangan.
“Hai!” aku menyapanya. Dia tersenyum lalu bergeser pertanda memberiku tempat untuk ikut duduk di bawah pohon.
“Kenapa kamu menyendiri di sini? Tidak mau gabung dengan mereka? “ tanyaku.
Dia tersenyukm ke arahku “Aku sudah terbiasa menyendiri, kamu mau?”jawabnya, sambil menawarkan bekal nasi gorengnya lengkap dengan potongan daging kecil.
Aku mengangguk.”Boleh.”
“Tam, kenapa kamu mau menemani gadis hitam ini?”celetuk Lita, teman sekelasku. Aku kembali bingung. Memangnya kenapa dengan gadis ini? Dia manusia juga kok.
“Apasih maksud kamu?”tanyaku
“ Dia itu orang Papua Tam, non islam juga. Udah kamu jangan main sama dia.” jawab Lita.
“Terus kenapa kalau dia non islam?” tanyaku semakin bingung.
“Haduh Tam! Kamu pasti tahu , kalau non islam itu suka bermain sama anjing, mereka makan daging babi pula. Kita seorang muslim dilarang makan daging haram.Tuh,lihat! Siapa tahu itu daging babi.” Cibirnya menatap tempat makan di tanganku.
“Tidak, ini daging sapi kok, walaupun aku non islam tapi aku tidak pernah membawa daging babi ke sekolah.” jawab gadis itu membela diri.
“Halah, sudah ngaku aja deh!” Lita membuang kotak bekal itu hingga isinya berceceran ke tanah.
“Lita! Kamu jangan seperti itu dong, bagaimanapun juga dia teman kita, kenapa kamu kasar sih?” bentakku.
“Karena kamu malah berteman sama dia! Agama dia beda dengan kita Tam. Lihat dia, kulitnya saja hitam, jelek! Dia ngga ada cantik-cantiknya.” jawab Lita
“Menurutmu, kamu itu cantik?” tanyaku kesal.
“Jelas! Kamu itu pantesnya berteman sama aku bukan sama si Papua ini!” Lita mendorong tubuh gadis itu hingga terjatuh. Aku membantunya berdiri.
‘Kamu ini sudah kelas sebelas Lit. Apa kamu tidak mengamalkan pancasila? Kamu tidak mengamalkan sila ketiga? Persatuan Indonesia.” tanyaku.
“Kok kamu sok pintar sih Tam?” jawab Lita.
“Aku bukannya sok pintar, harusnya kamu berteman dengan semua murid di sekolah ini Lit. Kamu tidak boleh memandang ras, agama, ataupun suku. Hormatilah dia! Walaupun kita berbeda tapi kita tetap saudara.” ucapku.
“Ah sudahlah! Buang-buang waktuku saja.” katanya berlalu pergi.
Aku menegelus pundak gadis itu berupaya menenangkannya. Aku yakin pasti dia sedih atas perlakuan Lita.
“Sudah tak apa, jangan dipikirkan. Aku tahu kamu orang baik.” ujarku membantu membereskan kotak makannya.
“Tak apa Tam, pergilah berkawan dengan mereka, jangan denganku.” jawabnya.
“Hei, jangan bicara seperti itu! Kamu tetap temanku, aku tidak membeda-bedakan apapun itu.Oh ya, namamu siapa? ucapku.
“Rae.”Jawabnya.
Aku mengangguk.”Kamu masih mau kan menjadi sahabatku?” tanyaku
Dia terdiam,tak menjawab.
“Oke, kamu diam tandanya setuju, Yuk! Aku antar kamu ke toilet. Lihat bajumu kotor.” ucapku.
Aku bergegas mengantarkan Rae ke toilet,bajunya sangat kotor karena terjatuh tadi. Setelah kejadian itu, aku dan Rae menjadi sangat dekat. Di hari libur ia selalu mengajakku bermain ke rumahnya, entah itu untuk belajar tarian adat Papua, memakai baju khas Papua, bermain alat music dari Papua, menikmati masakan ibunya, dan belajar kebudayaan-kebudayaan dari Papua lainnya.
Bagiku, kita harus berteman dengan siapa saja, kita juga harus saling menghormati tak perlu memandang ras, suku, agam, dan lain sebagainya. Karena bagaimanapun juga kita adalah saudara.Indonesia merupakan negara tebesar dengan banyak pulau dan berbagai suku, ras, agama, dan bahasa. Keberagaman itu tidak seharusnya menjadi perpecahan, seperti semboyan negara kita”Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetap satu.
Kita tetap satu yaitu bangsa Indonesia, kita ini saudara, bendera kita sama-sama merah putih, negara kita sama-sama Indonesia, ideologi kita sama-sama pancasila. Bersatulah! agar negara kita ini tidak hancur hanya karena perbedaan.
Oleh: Milati Nurul Maulida
Foto oleh Anna Shvets dari Pexels