Puasa sebagai Sarana Riyadloh

Diposting pada

Bulan Ramadan 1442 H telah kita lalui bersama. Ramadan sejatinya sebagai sarana untuk melatih kita tirakat. ترك “ta-ra-ka” yang secara bahasa berarti meninggalkan. Pagi hingga sore meninggalkan makan dan minum. Malamnya memperbanyak ibadah seperti tarawih, tadarus, serta i’tikaf. Filosofi Ramadan dalam konteks Jawa merupakan Kawah Candradimuka, yang merupakan kawah di dalam dunia pewayangan untuk penggemblengan diri supaya kuat dan terlatih. 

Mengapa kita perlu tirakat atau riyadloh? Dapat kita ketahui bahwa hewan-hewan yang mematikan adalah hewan yang ahli tirakat, contohnya harimau, buaya, dan ular. Hewan-hewan tersebut adalah hewan yang kuat tidak makan dalam jangka waktu yang lama, hewan-hewan yang ahli tirakat, hewan-hewan tersebut diangkat derajatnya sehingga menjadi hewan yang ditakuti. Lalu mengapa kambing tidak berbahaya? Karena kambing adalah hewan yang suka makan. Dari hewan tersebut kita bisa berkaca, bahwa orang yang dimuliakan oleh Allah bukanlah orang yang suka makan, bukan orang yang menuruti hawa nafsunya, melainkan orang yang ahli tirakat, orang yang menempuh jalan riyadloh. 

Mbah Munawwir bin Abdullah Rosyad pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir adalah sosok yang ahli tirakat. Saat belajar di Makkah, beliau tirakat selama 7 tahun. 3 tahun pertama mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an setiap seminggu sekali. 3 tahun kedua mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an setiap 3 hari sekali. 1 tahun terakhir mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an setiap hari. Kemudian dilanjutkan 41 hari tanpa henti membaca Al-Qur’an, hanya jeda sejenak saat beliau hendak dhahar. Dengan santri menempuh jalan tirakat, jalan riyadloh semoga kelak akan dimuliakan oleh Allah yang menjadi orang besar di daerahnya masing-masing, kembali ke rumah untuk membangun daerahnya. Hikmah puasa adalah untuk melatih kita riyadloh, baik riyadloh fisik dengan tidak makan dan minum, riyadloh hati, dan lebih khusus lagi adalah riyadloh untuk selalu mengisi hati dengan ketaatan dan keimanan. Hal ini seperti 3 tingkatan puasa menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali.

Tanggal 1 Syawal sebagai hari kemenangan untuk mereka yang berpuasa, kemudian jika dilanjutkan dengan puasa 6 hari di Bulan Syawal, maka pada 8 Syawal merupakan lebaran pula. Masyarakat Jawa biasa mengadakan tradisi “bada kupat” atau lebaran ketupat. Menurut filosofi Sunan Kalijaga, lebar artinya orang sudah usai melakukan ibadah puasa. Setelah itu luber, menjadi sosok yang dermawan. Setelah itu lebur, saling memaafkan sesama. Setelah itu labur, kembali suci, kembali putih bersih. Ketupat lebaran sering dibuat menggunakan daun janur. Janur diartikan جاء النور ”ja-a an-nuur” yang berarti telah datang cahaya. Saat Idul Fitri, dosa vertikal dihapus dengan memperbanyak ibadah dan dosa horizontal dihapus dengan meminta maaf dan meminta ikhlas kepada sesama. 

Aktivitas Halal bi Halal menjadi suatu tradisi yang familiar di Indonesia saat Bulan Syawal. Sebenarnya aktivitas ini sudah ada sejak zaman Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, namun istilahnya baru ada saat pemerintahan Ir. Soekarno. Saat itu terjadi banyak pemberontakan, seperti PKI, DI/TII, Permesta, dan para elite politik tidak damai dan berseteru. Lalu Soekarno mengadakan pertemuan dan mengundang para ulama dan kalangan elite politik untuk mendamaikan suasana Ibu Pertiwi yang sedang porak poranda. Pertemuan ini bermula saat Soekarno meminta saran kepada KH. Wahab Chasbullah untuk mendamaikan ketegangan antar para elite bangsa. Namun istilah silaturahim dianggap sudah biasa dan Soekarno menginginkan sesuatu yang berbeda. Kyai Wahab mengusulkan sebuah istilah “Halal bi Halal”. Istilah tersebut kemudian ditafsiri dengan berbagai macam makna, salah satunya adalah طلب الحلال بطرق الحلال yang berarti mencari halal dengan jalan yang halal.

Istihlal atau meminta halal kemudian menjadi sesuatu yang sangat penting, bahkan ketika melakukan suatu kesalahan, seharusnya langsung meminta maaf, meminta halalnya. Dalam konteks kehidupan santri, hal-hal yang dianggap remeh seperti ghosob sandal teman, memakai pasta gigi teman tanpa bilang seharusnya langsung meminta halalnya jika sudah terlanjur melakukan hal tersebut.

(Klik page 2 untuk kelanjutannya)