Puasa atau menahan diri dikenal sejak zaman dahulu bahkan dikenal oleh agama-agama besar, seperti Kristen, Protestan, Hindu, Mesir Kuno. Mereka memiliki cara tersendiri dalam puasa atau menahan diri dan ada yang beranggapan bahwa puasa untuk berlatih menyiksa diri sebelum terjadinya bencana nantinya.
Bagi umat Islam sendiri, intinya yaitu menahan gejolak nafsu. Bukan dilarang tapi menahan. Mulai dari makan, minum, maupun hubungan suami istri diperintahkan untuk ditahan saat berpuasa.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ١٨٣
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS Al- Baqarah [2] :183)
Dalam ayat di atas, dikatakan ‘yaa ayyuhalladzina aamanu’ yang artinya wahai orang-orang yang beriman. Bukan ‘yaa ayyuhal mu’minuun’ yang berarti orang-orang yang sudah mantap imannya. Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang yang beriman meskipun sedikit tetap diwajibkan untuk berpuasa.
‘Kutiba ‘alaikumush shiyam’ yang artinya ‘diwajibkan atas kamu berpuasa’. Allah tidak berkata saya mewajibkan kamu berpuasa atau diwajibkan kepada kamu berpuasa. Dalam ayat ini disebutkan bahwa tidak ada konteks siapa yang mewajibkan. Meskipun kita beranggapan bahwa Allah SWT. yang mewajibkannya. Seandainya Allah SWT. tidak mewajibkannya, maka kita sebagai manusia yang paham dengan manfaat dan dampak baiknya, akan mewajibkan diri kita sendiri untuk berpuasa. Sebagaimana dikatakan oleh orang-orang sebelum kita berpuasa.
‘La’allakum tattaquun’ artinya supaya kamu bertakwa. Jadi puasa ini bertujuan untuk manusia sendiri dan bukan untuk Tuhan. Maka dari itu, puasa dalam umat Islam, yakni dengan menahan hawa nafsu. Apabila kita mengetahui apa tujuan dan manfaat berpuasa, maka kita akan melaksanakan puasa. Wallahu a’lam bishowab
Oleh: Aghitsna Fikamalina
Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash