Sebelum memulai pengajian hendaknya melakukan tawassul kepada Nabi Muhammad saw, agar dapat mengetahui wasilah. Seperti dijelaskan dalam alquran : وابتغوا اليه الواسيله (Q. S. Al-maidah:35)
Diri kita sendiri itu tidak bisa mencapai sesuatu tanpa wasilah dari orang lain. Apapun itu, baik ibadah, kehidupan sehari-hari, dan lain sebagainya, memerlukan wasilah, memerlukan mediasi orang lain. Tanpa adanya bantuan dari orang lain, maka akan sulit. Ada sebuah analogi tentang wasilah yang berbunyi: betapa mulianya Nabi Muhammad. Jadi, ulama itu disebut al-ulama waratsatul anbiya’ atau pewaris para nabi. Pengarang dan penulis kitab juga termasuk pewaris nabi.
Sebelum sampai pada nabi, mari kita mengenal tentang para ulama, baru mengenal nabi. Mengapa kita membutuhkan wasilah? Karena kita sendiri belum bisa sampai pada Allah, kecuali orang-orang yang dekat dengan Allah. Misalnya, nabi Musa yang ingin bertemu dengan Allah, itu meminta “Ya Allah, saya ingin bertemu dengan Engkau”. Nabi Musa harus membuat proposal terlebih dahulu untuk bisa bertemu dengan Allah, Nabi Musa meminta bertemu dengan Allah di gunung Tursinah. Ketika sampai, sandal yang dipakai Nabi Musa diminta untuk dilepas.
Sedangkan Nabi Muhammad saw. Ia diminta naik ke langit oleh Allah. Allah sendiri yang meminta Nabi Muhammad saw untuk naik. Kemudian ketika ingin masuk bertemu dengan Allah, semua barang yang dipakai oleh nabi Muhammad saw termasuk sandalnya, diperbolehkan masuk tanpa terkecuali. Bahkan ketika nabi Muhammad saw hendak masuk, beliau berkata pada Jibril “Jibril, temani aku. Aku akan masuk” Jibril menjawab “saya belum bisa”. Kadar Jibril yang nur saja belum bisa menandingi nabi Muhammad saw. Jadi, benda dunia yang berupa sandal itu bisa ikut naik ke langit.
Betapa mulianya Nabi Muhammad. Ada ruh ketuhanan dalam diri beliau. Sandalnya saja bisa ikut mikraj ke langit menghadap Tuhan. Bagaimana dengan kita? Tidak ada apa-apanya dibandingkan sandal nabi Muhammad. Maka dari itu, kita harus hormat pada nabi beserta keturunannya. Jangan sembarangan, ketika melihat banyak versi habib. Ada yang kita ikuti secara jamaah (mayoritas). Di sisi lain, jika ada habib yang menyimpang, cukup tahu saja dan jangan sampai menginjak atau menghina, karena beliau masih keturunan nabi Muhammad.
Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki pintu dan pintu dari semua ibadah adalah puasa.” Jadi, orang yang punya banyak ibadah, untuk memasukinya ada pintu yang bernama الصوم . Sebab, puasa ini adalah benteng yang bisa menghalangi atau bahkan menyerang musuh. Apabila pintu ditutup, maka musuh tidak akan bisa masuk. Jadi, yang melindungi diri kita adalah puasa. Berkaitan dengan عدوّ disini, siapa musuh kita? Musuh bebuyutan kita adalah syaitanirrojim. Sebagaimana disebutkan juga dalam Al-Qur’an عدوٌّ مبين ٌّ(Q.S al-Baqarah: 208).
Setan itu musuh sebenar-benarnya musuh, musuh yang sangat nyata. Tiada musuh selain setan. Kemudian Allah juga berfirman dalam QS. Al-Faatir: 6 yang menegaskan
انّ شيطان لكم عدوّ فتّخذوه عدوّا .
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian semua, maka jadikanlah ia sebagai musuh kita.
Deskripsi tentang setan menurut Habib Ali Al jufri adalah:
- Sejak penciptaan nabi adam, setan sudah tidak takut, sudah sombong, disuruh sujud tidak mau. Dengan kesombongannya syaitan tidak mau sujud atas perintah Allah. Kemudian syaitan ini kerjaannya usil, dari awal nabi adam di jerumuskan, disuruh makan buah khuldi dan sebagainya. Nabi adam diturunkan ke bumi itu bagian dari kerja setan. Makanya disebut musuh nyata.
- Tidak ada pekerjaan, maka dari itu, pekerjaan setan adalah menyesatkan manusia.
- Manusia tidak bisa melihat setan, tapi setan bisa melihat manusia.
- Setan masuk ke dalam aliran darah manusia berupa bisikan.
- Setan memiliki teman dalam diri kita menyerupai nafsu, amarah, dan sifat-sifat binatang lainnya.
Setan memiliki mata-mata. Jika manusia lengah dan terjerumus ke dalam perangkapnya, maka habislah manusia, setan akan dengan mudah memengaruhi manusia. Lantas, bagaimana cara melawan 5 hal di atas?
Tipu muslihat setan dapat kita tanggulangi dengan انّ كيد الشيطان كان ضعيفا (Q. S an-nisa: 76). Setan itu bisa dikalahkan dengan cara dilemahkan. Bagaimana cara melemahkannya? Yaitu dengan cara berpuasa. Dalam usaha menipu daya manusia, setan memiliki dua cara. Pertama, Al Hiyal yang meliputi menguji, menunda-nunda, terburu-buru, riya’, sombong, ujub, dan tidak pernah melakukan ibadah karena Allah Maha Adil. Kedua, Al-Waswasah yaitu dengan membisikkan keraguan antara kebaikan dan keburukan.
Jumlah puasa dibagi dalam 3 derajat, (1) puasa Ramadan, (2) puasa 1/3 masa, (3) puasa Daud. Walaupun puasa Ramadan lebih sedikit jumlahnya, namun lebih utama daripada puasa 1/3 masa dan puasa Daud.
Orang-orang yang sudah terbiasa berpuasa tidak akan pernah merasa gabut. Karena sudah terbiasa puasa, orang tersebut tidak akan merasa lapar, bahkan dalam jiwanya tidak pernah merasa sengsara. Selain itu, hasrat nafsunya sudah berkurang dan melemah. Nafsu tidak akan terpengaruh kecuali ia dilatih. Seperti yang dikatakan seorang dokter, barangsiapa yang terbiasa minum obat tanpa adanya hajat, maka obat tersebut tidak akan bermanfaat ketika ia sakit.
Adapun orang yang berpuasa dibagi menjadi 3 derajat, (1) puasanya orang awam, (2) kowash, dan (3) kowashul khowas. Puasa orang awam adalah menahan makan dan minum serta menjaga kemaluan dari godaan syahwat. Tingkatan puasa ini menurut Al-Ghazali adalah tingkatan puasa yang paling rendah, karena dalam puasa ini hanya sebatas menahan dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Puasanya orang khusus atau khowas menurut Al-Ghazali adalah selain menahan makan dan minum serta syahwat juga menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa. Sedangkan puasa khowasul khowas adalah puasanya hati dari kepentingan jangka pendek dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan dirinya pada selain Allah SWT.
Agar puasa memiliki nilai lebih, ada anjuran untuk menutup puasa dengan baik. Adapun anjuran tersebut adalah untuk makan makanan yang halal. Selain itu hendaknya tidak berlebihan ketika makan agar tidak berat perutnya sehingga rahasia puasa tidak terhijab oleh kemalasan.
Oleh: Oca
Disarikan dari pengajian kitab “Qul hadzihi Sabili” oleh Ustaz Faza.